Rabu, 03 September 2008

Pengantar

Kisah Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebutkan sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.

Sumber berita yang sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu, sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.

Berita Cina bukan satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku yang berjudul ‘Geographia’, ditulis + tahun 150 M.

Ptolomeus menyebutkan diujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.

Klim Thailand terhadap sejarah Indonesia juga terjadi terhadap Sriwijaya, konon kabar di Sriwijaya terletak di Thailand. Mungkin klim ini berdasarkan pada kondisi saat ini, karena melihat dari sisi perkembangan agama. Hal yang mungkin dapat dipersamakan adalah candi-candi yang ada didaerah Batujaya Karawang. Konon kabar umurnya sama dengan candi tertua yang ada di Thailand. Hanya memang bangsa Indonesia sampai saat belum sedemikian menganggap penting adanya situs-situs peninggalan sejarah, seperti dibongkarnya situs di Rancamayana dan di gondolnya batu Kuya dari Bogor.

Didalam sejarah lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang. Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak dan Gunung Padang Cianjur. Perluasan Salakanagara dapat juga dihubungkan dengan daerah Agrabinta, di Cianjur Selatan. Pada masa itu disebut-sebut sebagai raja daerah yang berada dibawah kekuasaan Salakanagara. Saat ini Agrabinta masih berfungsi sebagai daerah perkebunan dan masih terisolir dari daerah perkotaan.

Tokoh Betawi, Ridwan Saidi dalam bukunya “Babad Tanah Betawi” mengkalim Salakanagara terletak di Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk. Ia pun menyebut-nyebut Aki Tirem sebagai leluhurnya orang Betawi. Tapi dari daerah Betawi ke Pandeglang didalam peta dunia sebenarnya tidak begitu jauh, apalagi Betawi (dahulu Kalapa) masih termasuk wilayah entitas pulau Jawa Bagian Barat.

Kegamangan menentukan letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya, kecuali jika dapat dipastikan bahwa situs kepurbakalaan yang ada di Pandeglang dinyatakan benar peninggalan Salakanagara. Diwilayah itu memang ada legenda yang mengaitkan dengan situs tersebut, yakni legenda Kadu Hejo, yang dapat dihubungkan dengan perjalanan terakhir raja Pajajaran, yakni Ragamulya Suryakencana. Namun pada masa Ragamulya situs tersebut sudah ada, mengingat Ragamulya di Pulasari hanya bertindak sebagai rajaresi dan tanpa mahkota. Artinya, pada masa tersebut Pulasari sudah menjadi daerah Kabuyutan, bukan suatu kota yang lajimnya dijadikan tempat bersemayam seorang raja.

Kegamangan dalam menentukan lokasi Salakanagara di daerah Kulon dimungkinkan pula tidak diperhitungkannya perubahan alam, seperti meletusnya Gunung Krakatau yang disertai Tsunami. Peristiwa alam ini telah terjadi dua kali. Sebelumnya Gunung Krakatau dikenal dengan nama Nusa Api yang ramai dikunjungi para pedagang antar negara.

Menurut hemat saya, penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat atau petutur sejarah lisan atau meneliti umur tanah, seperti yang digunakan para peneliti modern. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan Tarumanagara. Konon Kabar Tarumanagara merupakan ‘tuturus’ dari Salakanagara.

Dalam cerita lisan Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin juga abu saca atau Abu Sakya. Yang satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, dapat juga merupakan benturan budaya, namun memang seolah-olah ada cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sang Pribumi dilukiskan sebagai buta, cakil pemakan orang, sedangkan Sang Pendatang dilukiskan sebagai manusia yang berparas tampan dan dapat mengalahkan buta cakil. Sebagai pangeling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang kisah ini hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak “ka girangna”. Didalam sejarah Jawa Barat, masa itu disebutkan pertanda dimulainya sentuhan ‘Budaya dari India’. Dalam pradigma tradisional, tanpa terasa kitapun mempercayainya, sebagai pertanda dimulainya pemberhalaan tetekon asli pribumi. Walahuallam. (Cag).



Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih