Senin, 12 April 2010

Kembali Ke Pakuan

Wastu Kancana wafat pada tahun 1475. Untuk menjaga keseimbangan wilayah Sunda, kerajaan dipecah dua, yakni Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal.

Para pewaris Wastu Kancana menurut Atja dan Ekadjati (1989 : 142), sebagai berikut :

“Setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Iskandar - hal. 230).

Politik keseimbangan dengan cara pembagian kekuasaan telah berhasil melakukan stabilitas wilayah Sunda, terutama ada keterwakilan unsur Galuh dengan Sunda yang di posisikan sejajar. Hubungan kekerabatan para keturunan Wastu Kancana pada generasi berikutnya semakin kuat, ditandai dengan jalinan perkawinan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal. Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Gedeng Kasmaya dapat menjadi penguasa Cirebon mewarisi tahta dari mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).

Suksesi dan Penyatuan Wilayah
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda dengan Galuh (Kawali) warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Kawali. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan (tabu) yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu itu hukum adat di Sunda mengkatagorikannya pada pelanggaran moral. Padahal persoalan moralitas di wilayah Sunda Galuh mendapat sorotan yang serius, bahkan dapat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda. Hal ini nampak dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan (Wanita terlarang).

Dari contoh kisah diatas dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.

Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Para keturunan Galuh dalam periode berikutnya menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga wajar ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.

Penulis Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan mendifiniskan tentang Istri larangan (istri yang terlarang untuk dinikahi oleh keluarga Galuh), pada masa itu ada tiga katagori, yakni (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196). Kecuali istri larangan dalam katagori (1) dan (3) sampai saat ini masih diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang harus dihindari, sedangkan yang temasuk katagori (2) sudah sangat luntur, bahkan didalam hukum negara saat ini perkawinan antar bangsa, antar suku dan antar agama bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu.

Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.

Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.

Pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :

Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :

• //sang ningrat kancana / a-
• Thawa prabhu dewa niskala/
• Madeg ratu ghaluh pakwan
• Ing (1397-1404) ikang ca-
• Kakala//lawasnya/pitung warca/
• Mapan sira kawilang sang sa-
• Lah mastri lawan wanodya
• Sakeng wilwatikta/

(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis [hulanjar] dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].

Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.

Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lain memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :

Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya. / Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar. / "Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati." / Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima - untarayana madura - suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata. / Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama. / Lilana ngadeg ratu saratus taun.

Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana itu berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.

Adnya peristiwa tersebut mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, cucunya, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.

Dari Kawali ke Pakuan.

Jayadewata pasca dinobatkan sebagai raja Sunda kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya dari Kawali ke Pakuan. Sumber utama tentang masalah ini ditegaskan didalam prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor.

Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :

OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu / diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri / baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de- / wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis- / kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu / ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka- / ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga / rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan- / dawa (m) bumi OO [Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].

Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :

Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewata prana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa. [Raja Pajajaran dinobat kan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobat kan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Iskandar, hal. 226).

Dari dua kali peristiwa pengangkatan Jayadewata tentu membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda.

Kisah pengangkatan di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).

Alasan pemindahan ibukota Sunda ke Pakuan sampai sekarang belum banyak di kupas secara khusus, padahal Jayadewata lebih kental berdarah Kawali, karena ia putra Dewa Niskala. Namun alasan pemindahan pusat pemerintahan ke Pakuan diuraikan didalam beberapa versi, yakni Pertama karena Jayadewata telah sering tinggal di Pakuan untuk mewakili mertuanya, sehingga ia lebih familier melaksanakan tugas pemerintahannya dari Pakuan. Kedua adanya upaya Jayadewata untuk lebih mengakrabkan dirinya dengan kerabat Pakuan, yakni dari pihak mertuanya. Ketiga Susuktunggal dianggap jauh lebih berwibawa dibandingkan Dewa Niskala dan lebih dihargai oleh masyarakat Sunda. Keempat perkembangan kota Pakuan pada masa itu dianggap lebih maju dibandingkan Kawali. Sama halnya ketika masyarakat memilih Sunda untuk menyebutkan gabungan entitas Sunda dengan Galuh.

Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan : “disebabkan (Sri Baduga Maharaja) melaksanakan pemerintahannya berdasarkan purbatisti purbajati, (sehingga) tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”. Cag Heula. (***)


Sumber Bacaan :


Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005


Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.


Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.


Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.


Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.


Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980


Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.


Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.


pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.


wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.


wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.


Sumber lain.

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih