Senin, 25 Juni 2012

Para Perintis

Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984), uraian tentang kerajaan sunda nam paknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Ci traganda. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan ke rajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan secara ter sendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran. Namun masyarakat tradisional tak pernah mau tahu dengan adanya pembatasan periode, bahkan terhadap katagorisasi sejarah secara akademis sekalipun. Masyarakat tradisional berangga pan bahwa seluruhnya adalah kerajaan Sunda dan memiliki entitas yang sama.

Pembahasan kesejarahan Sunda saat ini sudah jauh lebih luas dibandingkan sebelumnya yang hanya mengambil Sunda dari simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda ter-akhir. Jika Kerajaan Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal adalah Prabu Siliwangi maka Ki Sunda berpotensi makin kehilangan jejak dan akar sejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigma untuk melemparkan pengetahuan sejarahnya lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwangi ?, bahkan harus lebih jauh lagi ke jaman sebelum Tarusbawa memindahkan pusat Tarumanaga ra kedaerah Sundapura atau Sunda sembawa ?.

Para Perintis Kerajaan Sunda
Terusbawa dikenal sebagai pendiri kerajaan Sunda setelah Tarumanagara, bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Terusbawa adalah raja Daerah Sundapura, pada masa itu berada dibawah kekuasaan Tarumanagara. Memperoleh tahta Tarumanagara setelah menikah dengan Dewi Manasih, putri Linggawarman. Raja Tarumanagara terakhir. Sehingga kerajaan Sunda dianggap kelanjutan dari Tarumanagara.

Jika diteliti lebih lanjut tentang sebutan raja Daerah Sunda, serta dikaitkan dengan prasasti Juru Pangambat yang ditemukan disekitar daerah prasasti Ciaruteun, yang menyatakan tentang pemulihan kekuasaan Sunda, dimungkin istilah Sunda sebagai bentuk kerajaan sudah ada ketika masa Tarumanagara berdiri, bahkan disebut-sebut bahwa Purnawarman dimasa keemasannya mengendalikan pemerintahan Tarumanagara dari daerah (kota) Sunda. Sunda atau Suddha, Sindhu secara etimologis sudah dikenal sejak 4.000 SM. Menurut para filolog mengenal adanya proto melayu yang dianggap lebih tua di Asia, namun proto Soendic (Sunda) jauh lebih tua ribuan tahun dari proto melayu (Bern Nothover, 1973). Mungkin pula alur ini berhubungan dengan penemuan istilah Sunda sebagai akronim dari Prabu Shindu, yang ajarannya merebak hingga ke Jepang (Shinto) dan Mahenjodaro (India), kemudi an disebutkan sebagai ajaran Hindu. Konon kabar artefak ajaran ini masih dapat ditemukan di Bali dan penganut Sunda Wiwitan. Para penganut ajaran ini pun meyakini, bahwa ajaran ini asli berasal dari Bumi Nusantara, bukan dari luar.

Demikian pula masalah cikal awal kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan, masih panjang sirsilah keatasnya, yang konon belum terpecahkan. Tentang para perintis kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan diuraikan oleh Undang A. Darsa dan Edi. S. Ekadjati didalam menjelaskan : Garis besar Isi Fragmen Carita Parah yangan (Buku Tulak Bala : 2003). Para perintis dimaksud, se bagai berikut :
  1. Bagawat Angga Sunyia yang berkedudukan sebagai Batara Windupepet.
  2. Bagawat Angga Mrewasa yang berkedudukan sebagai Prebu Hujung Galuh.
  3. Bagawat Angga Brama berkedudukan di Pucung, namun dibunuh oleh Sang Pandawa.
Kisah ini diuraikan, sebagai berikut : 

  • "Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Sunyia dyi adegkeun Batara Windupepet; windu ngabener pet nga pegat pegatkeun. Ulah teresna, ulah dekkabawa ku rupa warna, ulah kabawa ku sakaton sakareungeu. Haywa mido, mi telu, adana siya rabi siya tunggal. Lamunfa dek mido, mitelu, maka nguni carut di carrek kaliyuga. Pamalina tan yogya sengguhheun tunggal. - Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Mre wasa diadegkeun Prebu Hujung Galuh, siya jagat palaka. Ulah siya pakadang-kadangan, nyandung sapilanyceukan, ngala rabi sama rabi, ngala hulanyjar ka huma ti urang kaluaran, munuh tanpa dosa, midukaan tanpa dosa. Anaking, eta pamali prela ya na bwana pamalina. Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Ku Maharaja Trarusbawa, Bagawat Angga Brama di adegkeun [Maharaja Trarusbawa] (Bagawat) Suci Mayajati. - Sumaur Bagawat Suci Mayajati, "Pun, kami dipipejah bwana ku Sang Pandawa." Memeh munggah maring sorga dingaran an deui ku Maharaja Trarusbawa, dingaran na buyut lingga. Leupas ti inya sangkanna menta pulang ka Pucung. Sadatang ka unggal tahun, Maharaja Trarusbawa kena na panyji na lemah. Anggeus ta indit Sang Hyang Rancamaya, dipindahkeun Sang Hyang Nagasusupan di Sang Ratu Mambang, Sang Ratu Kalasakti."
Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan pula, bahwa Tarusbawa adalah pengganti Bagawat Angga Brama, yang di bunuh oleh Sang Pandawa (Kuningan). Kelak Sang Pandawa pun mampu mengalahkan Sanjaya, dan mengejarnya hingga ke daerah Galuh. Jika dilihat periode masa Klasik di tatar Pasundan, adanya pengaruh politik dan kerajaan, disinyalir dimulai pada masa berdirinya Tarumanagara, maka pada masa Tarusbawa, Pakuan mengendalikan para penguasa daerah lainnya. Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa Maharaja Tarusbawa mengeluarkan pangwereg 'ketentuan berupa hak' bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan. Istilah Pamwatan diterjemaahkan sebagai kewajiban memper sembahkan upeti' sebagai tanda setia.

Adapun para penguasa daerah yang disebutkan didalam naskah, adalah : "Sang Resi Putih dinobatkan sebagai Batara Danghyang Guru di Galunggung yang berpusat di Sukasangtub. Bagawat Sangkan Windu di Denuh yang berpusat di Jambudipa. Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai Batara Waluyut di Mandala Cidatar yang berpusat di Medang Kamulan. Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai Batara di Geger Gandung yang berpusat di Bantar Bojong Cisalak. Bagawat Resi Karangan dinobatkan sebagai Preburaja di Kandangwesi yang berpusat di Papandayan. Bagawat Cinta Premana dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di Puntang yang berpusat di Gunung Sri. Bagawat Tiga Warna dinobatkan di Mandala Puncung yang berpusat di Lamabung. Bagawat Pitu Rasa dinobatkan sebagai Batara Sugihwarna di Mandala Utama Jangkar yang berpusat di Gunung Tiga".

Para penguasa dan wilayahnya diatas menunjukan daerah kekuasaan Terusbawa, bahkan di dalam pembahasan lainnya disebutkan mengenai batas-batas wilayah dimaksud, sebagai berikut : "Batas wilayah Galunggung: sebelah timur lereng Pelangdatar, sebelahutara lereng Sawal, dan sebelah barat tepi sungai Cihulan. Batas wilayah Denuh : - sebelah barat tepi Cipahengan hingga hulu Cisogong tapal batas Puntang, sebelah timur hulu Cipalu, dan sebelah utara hulu Cilamaya.Batas wilayah Geger Gadung: - sebelah barat tepi Cilangla yang, sebelah utara lereng Parakukan membentang ke Geger Handiwung serta Pasir Taritih terus ke muara Cipager Jampang hingga hulu Cilangla. Batas wilayah Kandangwesi : - sebelah barat tepi Cikandang wesi, sebelah utara lereng tapal batas Lewa. Batas wilayah Puntang: Sebelah barat lereng Pakujang sampai Gunung Mandalawangi, sebelah utara lereng Kalahedong hingga Gunung Haruman, dan sebelah timur tepi Ciharus. Batas wilayah Windupepet hanya disebut sebelah barat tepi Cikaradukun. Batas wilayah Lewa : - sebelah barat tepi Cimangkeh, dan sebelah utara lereng tapal batas Kandangwesi.


Selain wilayah tersebut, dijelaskan adanya daerah dibawah kekuasaan Terusbawa, yakni wilayah Windupepet, berpusat di Gunung Manik dan wilayah Lewa, di Pacera. Asli naskah di maksud berisi sebagai berikut : "Alasna Galunggung ti timur hanggat Pelangdatar, ti kaler hanggat Sawal, ti barat hanggat Cihulan. -Alasna Gegergadung ti barat hanggat Cilanglayang, ti kaler hanggat Parakukan, unggahna Geger Handiwung, Pasir Taritih, muhara Cipager Jampang diterus hulu Cilangla. -Alasna ti barat Cipatujah di muhara Cipalatih, ti barat hanggat gunung Kendeng. -Alasna Denuh ti barat hanggat Cipahengan, ti hulu Cisogong alasna Puntang, ti timur hulu Cipalu, ti kaler hanggat hulu Cilamaya, ti barat hanggat Abwana.-Alasna Windupepet di barat hanggat Cikaradukun. Alasna Pun tang ti barat hanggat Pakujang gunung Mandalawangi, ti kaler hanggat Kalahedong gunung Haruman, ti timur hanggat Ciharus. -Alasna Lewa ti barat hanggat Cimangkeh, ti kaler hanggat Wates. -Alasna Kandangwesi ti barat hanggat Cikandangwesi, ti kaler hanggat Wates. -Keh anggeus pahi kaduuman alas, diduuman ku Maharaja Tarrusbawa. Ja ini pawidyana alas, pawidyana desa: Sumur hulu alas Galuh. Heuleutna ti kaler hanggat Sukasangtub hulu alas Galunggung. Medang Kamulan hulu alas Cidatar. Bantar Bojong Cisalaka hulu alas Gegergadung. Gunung Tiga hulu alas Utama Jangkar. Jambudipa hulu alas Denuh. Lama bung hulu alas Pucung. Gunung Manik hulu alas Windupepet. Gunung Sri hulu alas Puntang.-Pacera hulu alas Lewa. Papandayan hulu alas Kandangwesi.

Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Maharaja Trarusbawa berkuasa lama sekali di keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati, namun hal yang agak me ragukan mengenai waktu memerintahnya, yakni 1100 tahun. Hal yang sama dengan penyusunan sejarah selanjutnya ten tang penggantinya. Tarusbawa disebutkan digantikan oleh Maharaja Harisdarma (Sanjaya), tapi kemudian takhta kerajaan di warisi para penggantinya secara berebutan. Mungkin istilah secara berebutan di terjemaahkan dari kalimat ‘turuna pa tiwah-tiwah’, sehingga nampak terus adanya perebutan kekuasaan, mulai dari Rahyang Tamperan lalu kepada Rahyang Banga, Rahyang Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panyjang, Sang Winduraja, dan berakhir kepada Rakeyan Darmasiksa.

Nama Kerajaan
Kota Sundapura, tempat asal Terusbawa pernah diguna kan sebagai ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman. Dimungkinkan ia adalah keturunan dari Purnawarman. Alasan Terusbawa memindahkan ibukota kembali ke Sundapura pa da tahun pada tahun 591 saka Sunda, karena Terusbawa me mimpikan untuk mengembalikan masa kejayaan Tarumanaga ra ketika beribukota di Sundapura.

Didalam penulisan sejarah, sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda dimulai sejak Terusbawa memindah kan ibukota Kerajaan Tarumanagara. Istilah Sunda di dalam prasasti sudah disebutkan sebelum digunakan oleh Terusba wa, seperti dalam prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka, menyebutkan tentang dipulihkannya kekua saan raja Sunda. maka wajar jika ditafsirkan bahwa kerajaan Sunda sudah ada dan digunakan sebelum tahun tersebut, ka rena prasasti dimaksud tentu tidak dibuat langsung atau ber tepatan dengan didirikannya kerajaan Sunda, prasasti tersebut tidak menandakan dimulainnya kerajaan Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa telah ada penguasa Sunda yang kekuasaannya dipulihkan. Data prasasti ini disinyalir memiliki kaitan yang jelas dengan kisah Fragmen Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa masih ada para perintis kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan sebelum masa pemerin tahan Terusbawa.

Menurut Sutaarga (1966), penamaan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran menunjukan pada kota atau pusat pemerintahan, sedangkan kerajaannya masih tetap bernama Sunda. Penggunaan nama Pajajaran atau Pakuan Pajajaran sama dengan Keraton Yogya yang menggunakan nama kota atau pusat pemerintahan (kerajaan), bukan mutlak menunjukan nama kerajaannya.

Istilah Sunda untuk nama suatu daerah pernah diguna kan Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Kota Sunda pada masa itu adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura Purnawarman memerintah dan mengendalikan Tarumanagara, dan di Sundapura Taruma nagara mencapai masa keemasannya. Tarumanagara berahir setelah wafat Linggawarman, dan digantikan oleh Terusbawa, menantunya, menikah dengan putri Linggawarman, Dewi Manasih. Terusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Terusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sini para penulis sejarah mencatat dimulainya kerajaan Sunda.

Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kampung Muara dan Prasasti Kebantenan menimbulkan per tanyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Prasasti tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584, masa Tarumanagara, namun menurut para akhli lainnya dibuat tahun 854, menunjukan pada masa Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara sehingga dimungkin prasasti tersebut peninggalan masa Tarumanagara.

Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, : telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prastawa saking Brata-nagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan Tarumanagara. Pada masa lalu diberi nama Sunda-pura. Nama ini berasal dari negeri Bharata).

Tentang perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan didalam Fragment Carita Parahyangan, sebagai berikut : Dina urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kada twan Bima–Punta–Narayana–Madura–Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta–Narayana– Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).

Berita lainnya tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya : Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadatwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa) 

Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi ber diri masing-masing, dengan namanya sendiri, secara berurut an disebut Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Banten dan Ci rebon.

Istilah ini ditemukan pula didalam Laporan Scipio (Belanda), sebagai berikut : Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebut nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk kerajaan Sunda. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama negara dan wilayahnya.

Selasa, 19 April 2011

Zaman Kolonial

Priangan diserahkan oleh Mataram kepada VOC melalui dua tahap, yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705 Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Mataram secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757 (Hardjasaputra, hal 31).

Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Setelah Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang dikuasai Mataram, karena perselisihan di antara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serang an dari luar, seperti dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak cuma-cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya. Priangan khususnya dan sebagian Jawa Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Ma taram akibat diserah kan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang tidak kalah menyedih kan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.

Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan Barat di serahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirun dung permasalahan dan terus menerus meminta bantuan VOC. Akibatnya Kompeni berkuasa penuh atas wilayah Mata ram termasuk Priangan. Kompeni dengan piagam 15 Novem ber 1684 mengangkat kepala daerah di Priangan untuk meme rintah daerah masing-masing atas nama Kompeni. Pengang katan tersebut disertai dengan pemberian sejumlah cacah. Selain itu mengangkat bupati Kepala yang dianggap cakap, dapat dipercaya dan mengetahui permasalahan bupati pribumi. Hal ini dilakukan dengan cara mengangkat Pangeran Aria Cirebon, sebagai Bupati Kompeni.

Kompeni memberikan hadiah-hadian kepada para bupati, dengan tujuan agar para bupati mau melaksanakan tugas serta kewajiban bagi kepentingan Kompeni, yakni :
  1. Melaksanakan penanaman kopi, lada, nila (tarum), kapas dan la in-lain ;
  2. Menyerahkan hasil tanaman tersebut setiap tahun berikut masalah pengangkutannya ;
  3. Bertanggung jawab atas jumlah pohon yang ditanam dan menyerahkannya dalam jumlah yang telah ditentukan ;
  4. Mengarahkan dan menyerahkan tenaga kerja rodi ;
  5. Memelihara keamanan dan ketertiban daerah masing-masing ;
  6. Tidak boleh memecat umbul tanpa persetujuan pegawai kompe ni atau Bupati Kompeni di Cirebon.
  7. Melakukan sensud penduduk tiap tahun dan menyerahlannya ke Batavia ;
  8. Mengawasi kegiatan keamanan, terutama kegiatan para kiai ;
  9. Pada waktu tertentu menghadap gubernur jendrl di Batavia seba gai penghormatan.
Ada pertanyaan dalam tulisannya Harjasaputra yang perlu direnungkan bersama tentang masa kejayaan para bupati dahulu. Apakah bupati dibawah kekuasaan kolonial lebih cenderung berfungsi dan berperan sebagai aparat kolonial dari pada sebagai pemimpin tradisional, pelindung rakyat, atause baliknya, tergantung dari sudut mana kita menilainya. Namun anggapan yang menyatakan bahwa bupati zaman kolonial adalah antek kolonial semata-mata dan pemeras rakyat, adalah anggapan atau generalisasi yang keliru, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah. Tabe pun. (asp)



Vazaal Mataram

Semula di Priangan hanya ada dua wilayah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh (Hole : 1869). Sumedang keberadaannya mulai nampak setelah kerajan Sunda Pajajaran hancur dan ada upaya dari Jayaperkosa untuk meningkat kan Sumedanglarang (Geusan Ulun) sebagai pengganti raja Sunda, ditandai dengan digunakan Sanghiang Pake ketika melantik Geusan Ulun. Sedangkan Galuh tetap berdiri sendiri dibawah pemerintahan bupati setempat. Pada tahun 1595 Galuh dikuasai Mataram di bawah pemerintahan Sutawijaya yang memerintah Mataram pada tahun 1586-1601.

Setelah Geusan Ulun Wafat maka penggantinya, Raden Aria Suriadiwangsa pada tahun 1620 berserah diri kepada mataram tanpa peperangan dan tanpa perlawanan apapun. Pada saat itu Sumedang berubah menjadi Kabupaten. Sejak sat itu pula Sumedang merupakan bagian dari Priangan. Dan mengangkat Aria Suriadiwangsa sebagai Wedana Bupati Priangan (1620-1624) sekaligus Bupati Sumedang, dengan gelar Rangga Gempol I. Namun setelah gagal melakukan penyerangan ke Sampang maka ditahan di Mataram. Sebagai penggantinya diangkat Dipati Ukur.

Kekuasaan Dipati Ukur pada saat itu berpusat didaerah Bandung Selatan, membawahi Sumedang, Sukapura, daerah tatar Ukur atau Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem. Penyerahan kekuasaan tersebut disertai sarat dari Sultan Agung untuk menyerang Belanda di Batavia. Pada tahun 1628 serangan di lakukan, namun akibat dari salah kordinasi, karena pasukan Mataram tidak kunjung datang, maka Dipati Ukur dikalahkan Belanda. Dipati Ukur menyadari kegagalannya akan berakibat mendapat hukuman dari Sultan Agung. Oleh karenanya melakukan pemberontakan.

Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita ketahui dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura di uraikan didalam Sejarah Galuh, yang disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Cuplikan naskah tersebut menjelaskan, sebagai berikut :

255 : Heunteu kocap dijalanna-Di dayeuh Ukur geus Neupi-Ki Tumenggung narapaksa-Geus natakeun baris-Gunung Lem bung geus dikepung-Durder pada ngabedilan-Jalan ka gunung ngan hiji-Geus diangseug eta ku gagaman perang.

256 : Dipati Ukur sadia-Batuna digulang galing-Mayak-Gaga man di lebak-Rea anu bijil peujit-sawareh nutingku lisik- Pi rang-pirang anu deungkeut-kitu bae petana-Batuna sokpulang panting-Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan

257 : Urang mundur ka Sumedang-Didinya Urang Badami- Nareangan anu bisa-Nyekel raheden Dipati-Bupati pada mikir- Emut ku Dhipati galuh-Ka Ki bagus Sutapura-Waktu eta jalma bangkit-Seg disaur ana datang diperiksa

258 : Kyai bagus Sutapura-Ayeuna kawula meureudih-Dipati Ukur sing beunang-Ditimbalan dijeng gusti-Nanging kudu ati-ati-Perkakasna eta batu-Gedena kabina-bina–Dikira sagede leuit-Dingaranan Batu Simunding lalampah.

259 : Kyai bagus Sutapura-Perkakasna ngan pedang jeung ke ris-Datang kana pipir gunung-Tuluy gancangan nanjak-Geus datang kana tengah-tengah gunung-Batu Ngadurungdung da tang-Dibunuh geus burak-barik.

260 : Nu sabeulah seug dicandak-Dibalangkeun nyangsang di na luhur kai-Nu matak ayeuna masyhur-Ngarana batu layang-Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk-Balad Ukur enggeus ruksak-Ukur ditangkap sakali.

276 : Hariring katu nimbalang-Eta maneh bener Kyai Dipati-Eh ayeuna Tumenggung-Tumenggung Narapaksa-Karep ka menta Ngabehi anu tilu-Ayeuna angkat Bupati.

279 : Kyai bagus Sutapura-ayeuna ngarana kudu diganti-Bari diangkat Tumenggung-Tumenggung Sutanangga-Jeung bere cacah 7000-Ayeuna Geus tetep linggih

Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.

Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.

Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal.23) menjadi sebagai berikut: Pertama, Daerah Karawang lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada di bawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan. Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakan muncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur yakni: Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangka sih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana di tulis dalam suatu Piagem.

Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen. Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, : Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbana gara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.

Struktur jabatan Bupati di Priangan terhadap Mataram sama halnya dengan Bupati di negara lain, termasuk elite birokrasi tingkat menengah. Bentuk gaya hidup para Bupati seperti miniatur keraton (Soetjipto : 1980). Dibawah pemerintahan Mataram, para Bupati di Priangan berkuasa seperti raja. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja dalam arti lebih kecil. Setiap bupati memiliki simbol-simbol kebesaran, seperti songsong (payung kebesaran), pakaian kebesaran, senjata pusaka, kandaga (kotak perangkat upacara kebesaran), kuda unggangan, dan lain-lain. Semuanya dinyatakan dalam piagam pengangkatannya. Para bupati memiliki pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Atas dasar inilah dihadapan rakyat Bupati dianggap memiliki otoritas penuh, baik sebagai kepala Daerah maupun sebagai pemimpin tradisional. Namun tetap harus menyerahkan upeti setiap tahun, menghadap raja pada upacara tertentu, memberikan bantuan jika dimintakan raja.

Perintah demikian merupakan cara bagi raja Mataram untuk mengukur tingkat loyalitas para Bupati, sama halnya dengan yang dialami Rangga Gempol I dan Dipati Ukur. Tinggi rendah kedudukan Bupati nampak dalam gelar yang disandangnya, seperti gelar Tumenggung ; Aria ; Adipati ; Pangeran. Gelar Tumenggung diberikan secara langsung pada saat diberi gelar Bupati, sedangkan gelar Aria ; Adipati ; Pangeran diberikan sesuai dengan konditenya. Selain gelar kepangkatan, para bupati juga memiliki Gelar Priyayi, yaitu raden. Menurut Harjasaputra (Sundalana 3 : 2004), Mataram telah menumbuhkan feodalisme pada diri bupati, sehingga hubungan antara bupati dengan rakyat pun terjalin dalam ikatan feodal yang melembaga menjadi tradisi.

Pengaruh Cirebon

Setelah penyatuan Galuh dengan Sunda ibukota pemerintahan sering berpindah-pindah dari barat (Pakuan) ke timur (Kawali dan sekitarnya) dan sebaliknya. Sehubungan Ibukota kerajaan pajajaran pindah ke Pakuan, maka Jayade wata atau Sri Baduga Maharaja menunjuk Jayaningrat, salah seorang putra Dewa Niskala untuk menjadi raja di Galuh. Pa da masa itu Cirebon masih termasuk wilayah Galuh, dibawah pengawasan Arya Kiban, Bupati Galuh, yang ditempatkan di Palimanan. Kemudian pada masa Surawisesa Raja Pajajaran terjadi perang Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Banten dan Demak, berlangsung hingga lima tahun, karena pasukan gabungan Cirebon tidak berani naik ke darat, sedangkan dipihak lain Pajajaran tidak memiliki armada laut yang kuat. Cirebon hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Pertempu ran Pajajaran dengan Cirebon menurut Carita Parahyangan terjadi 15 kali.

Di front timur Jayaningrat menganggap kekuasaan Paku an sudah mulai melemah. Namun masih beranggapan, bahwa secara Histori Cirebon berada dibawah Galuh. oleh karenanya ia berkirim surat kepada Syarif Hidayat, agar membayar upeti kepada Galuh, dengan ancaman akan digempur. Syarif Hida yat menolak dan segera memberitahukan Fadillah Khan untuk membawa pasukan Demak guna melindungi Pakungwati. Serangan Galuh dilakukan pada tahun 1528, terjadi pertempuran di dekat Gunung Gundul. Namun pasukan Kuningan yang diserahi tanggung jawab untuk menghadang serangan Galuh tidak mampu menahan gempuran Galuh, untuk kemudian melarikan diri ke Pakungwati. Dari arah Pakungwati tibalah pasukan besar dibawah pimpinan Pangeran Cakrabuana (Walangsung).

Pasukan Cirebon dibantu pasukan demikian yang membawa meriam. Oleh karenanya pasukan Galuh menjadi tidak berdaya. Akhirnya pada tahun 1528 pasukan Galuh berhasil dikalahkan dalam pertempuran di gunung Gundul Palimanan. Sisa-sisa kekuatan Galuh kemudian mundur dan menghim pun kekuatan di Talaga. Penguasa Talaga pada masa itu ada lah Sunan Parung Gangsa atau Prabu Pucuk Umum Talaga, cucu dari Sri Baduga Maharaja dari putranya Munding Surya Ageung. Di Talaga berkumpul pula Jayaningrat, Arya Kiban, Jayasamara. Kisah pertempuran Pangeran Cakrabuana dengan Jayaningrat serta pertempu ran dengan Arya Kiban.

Didalam Babad Cirebon yang disusun oleh P.S. Sulendra ningrat (hal, 81) dijelaskan, bahwa Jayaningrat menghilang setelah ditangkap Cakrabuana. Kisah tersebut diuraikan sebagai berikut :

Sang Prabu cepat melesat ke angkasa lalu bersembunyi di mega hitam. Ki Kuwu (Cakrabuana) berjumpa di hadapannya. Sang Prabu lalu turun ditangkap tapi tidak tertangkap. Sang Prabu lalu melenyapkan diri secepatnya, hanya tinggal suara nya saja. “Hai Cakrabuana, kelak di akhir jaman pembalasan ku kepada keturunan engkau di jajah orang. Pada waktu itu lah harus berhati-hati”. Ki Kuwu mendengar suara itu lalu menjawab, : “kelak berani, nanti berani, sekarang berani, ka pan saja berani.” Pangeran Cakrabuana lalu pulang.

Babad Cirebon menceritakan pula tentang Arya Kiban yang di kalahkan Pangeran Cakrabuana, sebagai berikut :

Diceritakan yang sedang berkelahi Dipati Keban dengan Pangeran Dipati Kuningan, sedangnya dorong mendorong ban ting membanting lempar melempar, naik gunung turun gu nung, Pangeran Kuningan terserempet oleh pohon menjalar yang bernama oyong karenanya ia jatuh ke tanah, dan cepat Sang Kiban menubruknya. Jeng Pangeran tidak berdaya na mun segera datanglah Ki Kuwu sambil menghunus Golok Cabang, disabetkan kepada lehernya Sang Kiban, untuk ia masih dapat menghindar dan cepat berlari, panas yang pribawa ia merasa tidak tahan. Sang Kiban lalu merekayangan masuk kedalam Gunung Gundul sambil meninggalkan suara, “Hai Kuwu, kelak pada jaman akhir keturunan engkau negara nya ada yang menjajah pada waktu itu adalah pembalasan ku.” Ki Kuwu segera menjawab, “Kelak berani, nanti berani, sekarang berani, kapan berani.”

Didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983-1984), dijelaskan tentang adanya pengumpulan kekuatan Galuh di Talaga. Cirebon menghentikan sementara serangannya ke Talaga, karena pada tahun 1529 Cakrabuana (Walangsungsang) wafat. Pada tahun berikutnya serangan ke Talaga dilakukan, maka pada tahun 1530 Talaga dapat dika lahkan dan Talaga menjadi bawahan Cirebon. Dari versi manapun sepakat, generasi berikutnya penguasa Talaga, yakni Sunan Wanapeurih memeluk agama Islam. Untuk kemudian kerajaan ini berada dibawah Cirebon. Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa Kerajaan Galuh runtuh dalam pertempuran dua kali, yakni pada 1528 di gunung Gundul Palimanan dan tahun 1530 dihancurkan di Talaga. Dengan demikian berakhir lah kerajaan Galuh yang didirikan Wretikandayun pada tahun 612 masehi.

Senin, 19 April 2010

Masa Keemasan Tarumanagara


Masa keeamasan Tarumanagara disebut-sebut terjadi pada jaman Purnawarman, bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhima prakarma Suryamaha purusa Jagatpati. Pembangun Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvaja buthena (panji segala raja), atau sering disebut Maharaja Purnawarman, berkuasa pada tahun 317 Saka (395 M), meningal pada 356 Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang Lumah ing Tarumadi.

Kemasyhuran Tarumanagara diabadikan didalam Prasasti jaman Purnawaraman, tentang dibangunnya pelabuhan dan beberapa sungai sebagai sarana per-ekonomian ; pada masa Purnawarman, Tarumanagara menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang belum mau tunduk.

Prasasti-prasasti tersebut juga menjelaskan tentang raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang 6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang, bahkan pada perkembangan berikutnya, Tarumanagara mampu melebarkan sayap kekuasaan nya. Perluasan daerah Tarumanagara dilakukan melalui jalan perang maupun jalan damai, berakibat wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin Rajadirajaguru dan Raja Resi.

Pada jaman ini pula, masalah hubungan diplomatic ditingkat. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Hal yang sama dapat ditenggarai dari masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.

Membangun Wilayah
Kisah Purnawarman secara terperinci diuraikan didalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah pertama yang dilakukannya, ia memindah kan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jaya singapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398 sampai 399 M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal Tarumanagara.

Raja Tarumanagara pada masa Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tercatatat beberapa sungai yang diperbaikinya :
Proses dan hasil pembangunan beberapa sungai diatas menghasilkan beberapa implikasi, yakni dapat memperteguh daerah-daerah yang dibangun sebagai daerah kekuasaan Tarumanagara. Kedua, karena sungai pada saat itu sebagai sarana perkenomian yang penting, maka pembangunan tersebut membangkitkan perekonomian pertanian dan perdagangan.
  • Pada tahun 410 M ia memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon, termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.
  • Pada tahun 334 Saka (412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yang mengalir hingga istana raja.
  • Tahun 335 Saka (413 M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa (Cimanuk).
  • Tahun 339 Saka (417 M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru, kakeknya.
  • Tahun 341 Saka (419), memperdalam kali Citarum yang merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.
Politik dan Keamanan
Sejak pra Aki Tirem wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya Dewawarman I berkenalan dengan masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.

Konon kabar ketika masa Salakanagara, pemberantas an perompak dianggap sulit, bahkan menurut cerita rakyat, ketujuh putra Dewawarman yang terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau para perompak. ParaIndia. perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan, sehingga Sang Dewawarman menganggap perlu untuk membuka jalur diplomatik dengan Cina dan Gangguan para perompak dialami juga ketika jaman Purnawarman, bahkan wilayah laut jawa sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal diganggu atau dirampas, yang terakhir para perompak berhasil menyandera dan membunuh seorang menteri kerajaan Tarumanagara dan para pengikutnya.

Untuk menghancurkan para perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah tersebut menjadi aman, karena Purnawarman menghukum mati setiap perompak yang tertangkap.

Untuk meneguhkan hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yang menikah dengan keluarga raja lain. Purnawarman memiliki permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-istri lainnya dari Sumatra, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.

Dari permaisuri ini kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama diberinama Wisnuwarman, kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera terdapat raja besar yang bernama Sri Jayanasa, dari kerajaan Sriwijaya (pada saat itu masih dibawah kerajaan Melayu), ia adalah keturunan Purnawarman.

Pemberontakan Cakrawarman
Pada saat Purnawarman meninggal Tarumanagara membawahi 46 raja-raja kecil. Sungguh kekuasaan yang besar dan perlu raja yang mampu dan kuat untuk melanjutkan kekuasaan ini. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yakni Wisnuwarman, dinobatkan tahun 356 Saka (434 M), Ia memerinta selama 21 tahun.

Wisnuwarman meneruskan kebijakan ayahnya, namun ia jauh lebih bijaksana dibandingkan Purnawarman yang dianggap bertangan besi. Untuk menjaga eksistensi Tarumanagara, penobatan ini diberitahukan keesegenap Negara sahabat dan bawahannya.

Pada awal pemerintahan Wisnuwarman sudah beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Hingga kemudian diketahui, bahwa actor intellectual upaya pembunuhan itu adalah Cakrawarman, pamannya sendiri, adik Purnawarman.

Cakrawarman dimasa Purnawarman menjabat sebagai panglima angkatan perang. Ia sangat setia mendampingi kakaknya dalam upaya melebarkan sayap kekuasaan Tarumanagara. Ia dianggap orang kedua di Tarumanagara. Sepeninggal Purnawarman Ia diharapkan para pengikutnya untuk menggantikan Purnawarman.

Upaya makar sebenarnya tidak akan pernah terjadi jika Cakrawarman tidak berambisi dan yakin terhadap kepemimpinan Wisnuwarman yang mampu melanjutkan kekuasaan Purnawarman. Keraguannya sangat beralasan, mengingat Cakrawarman tidak bertabiat seperti ayahnya, yang tegas dan tanpa kompromi terhadap lawan-lawannya. Namun patut diakui, sejak masa Wisnuwarman keadilan dan kemakmuran Tarumanagara bisa dapat tercapai.

Upaya makar yang dilakukan pula oleh para pejabat istana yang setia kepada Cakrawarman, seperti Sang Dewaraja (wakil panglima angkatan perang), Sang Hastabahu (kepala bayangkara), Kuda Sindu (wakil panglima angkatan laut), serta pejabat angkatan perang dan para pejabat kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara.

Cakrawarman akhirnya terbunuh dalam suatu pertempuran di sebelah selatan Indraprahasta, tidak jauh dari Sungai Cimanuk. Ia terbunuh oleh pasukan Bhayangkara Indraprahasta, kerajaan dibawah Tarumanagara yang setia kepada Wisnuwarman. Sejak peristiwa tersebut, pasukan bhayangkara Tarumanagara selalu dipercayakan kepada orang-orang Indraprahasta. Kepercayaan demikian berlangsung hingga pada peristiwa Galuh, ketika terjadi pemberontakan Purbasora terhadap Sena. Negara Indrapahasta yang dibangun Resi Sentanu itu dibumi hanguskan oleh Sanjaya.

Peristiwa pengancuran Indraprahasta oleh Sanhaya diabadikan dalam Nusantara III/2, sebagai berikut :

  • Ikang rajya Indraprahasta wus sirna dening Rahyang Sanjaya mapan kasoran yuddha nira. Rajya Indraprahasta kebehan nira kaprajaya sapinasuk kadatwan syuhdrawa pinaka tan hana rajya manih i mandala Carbon Ghirang. Wadyanbala, sang pameget, nanawidhakara janapada, manguri, sang pinadika, meh sakweh ira pejah nirawaceca. Kawalya pirang siki lumayu humot ring wana, giri, iwah, luputa sakeng satrwikang tan hana karunya budhi pinaka satwakura.
[Kerajaan Indraprahasta itu telah musnah oleh Rahyang Sanjaya karena kalah perangnya. Seluruh Kerajaan Indraprahasta ditundukan termasuk keratonya hancur lumat seakan-akan tidak ada lagi kerajaan didaerah Cirebon Girang. Angkatan perang, pembesar kerajaan, seluruh golongan penduduk, penghuni istana, para terkemuka, hampir seluruhnya binasa tanpa sisa. Hanya beberapa orang yang berhasil melarikan diri bersembunyi di hutan, gunung dan sungai yang terluput dari musuh yang tidak mengenal belas kasihan seperti binatang buas].

Pemberian Otonomi 
Kisah penumpasan pemberontakan Cakrawarman memberikan pelajaran terhadap pihak keraton dan raja-raja dibawah Tarumanagara untuk tidak mengulang peristiwa yang sama. Keteguhan kekuasaan selanjutnya dirubah, dari yang bersifat tangan besi dijaman Purnawarman menjadi perilaku adil dan bijaksana. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyat dan mengayomi raja-raja yang ada dibawah kekuasaannya.

Suri ketauladan Wisnuwarman digambarkan ketika menggagalkan upaya Kup Cakrawarman. Secara bijak ia mengadili orang-orang suruhan Cakrawarman untuk memberitahukan actor intelectualnya. Ia memperlakukan tersangka dengan baik dan secara cerdik dijanjikan tidak akan dihukum mati. Kemudian iapun mendapatkan informasi tentang actor intellectual dimaksud.

Kebijaksanaan yang ia miliki dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya, Indrawarman dan Candrawarman. Sang Maharaja Indrawarman bergelar Sang Paramartha Sakti Maha Prabawa Lingga Triwikrama Buanatala. Berkuasa selama 60 tahun, sejak 377 sampai dengan 437 Saka (455 – 515 M), sedangkan Indrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman bergelar Sang Hariwangsa Purusasakti Suralaga Wangenparamarta, berkuasa selama 20 tahun, sejak tahun 437 sampai dengan 457 saka (515 – 535 M).

Pada masa pemerintahannya memang banyak penduduk yang beragama Wisnu, namun tidak pernah terdengar adanya benturan, Situasi keagamaan digambar-kan tidak ada yang saling curiga dan cemburu (tan hanekang irsya). Peristiwa yang dapat dianggap monumental ketika menyerahkan pemerintahan raja-raja daerah kepada trah turunanan masing-masing, atas dasar kesetiaan kepada raja Tarumanagara. Peristiwa ini terjadi pada 454 Saka (532 M).

Suatu hal yang perlu diteladani, pembagian atau penyerahan pengawasan pusat ke daerah masing-masing bukan suatu barang baru di tatar sunda. Hanya saja banyak ragam proses yang perlu dilalui. BIasanya perlu ada desakan, tekanan dan permintaan agar pusat mau memberikan otonomi. Dalam peristiwa Tarumanagara justru sebaliknya, pemberian otonomi kepada raja-raja dibawahnya dilakukan ketika Negara dalam keadaan yang stabil. Peristiwa ini digambarkan didalam naskah Wangsakerta (Jawa dwipa Sarga 1) dan disebut adanya perubahan paradigma raja-raja tarumanagara, dari tangan besi kearah pengendoran kekuasaan.

Tindakan monumental tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti ketika jaman Raja Suryawarman, yang ditemukan didaerah Pasir Muara (Cibungbulang). Isi prasasti tersebut sebagai berikut :

Ini sabdakalanda rakryan juru pangambat
wi kawihaji panyca pasagi marsa
Ndeca barpulihkan haji sundaIni tanda ucapan
rakyan juru pangambat (tahun) 458 pemerintahan
daerah dipulihkan kepada raja sunda.



Karakter Kepemimpinan
Dari kearifan masa lalu, saya melihat adanya penerapan leadership yang berbeda antara masa Purnawarman dengan Wisnuwarman. Masa Purnawarman kepemimpinan Tarumanagara dijalan kan secara tangan besi. Ia tanpa ampun menghukum setiap para pelanggar hokum dan penganggu ketertiban. Namun ia pun mampu menjaga hubungan baiknya melalui jalur diplomatik dengan kerajaan lainnya. Bahkan masalah reward dan punishment sangat kentara dijalankan. Hal ini dapat ditenggarai dari setiap selesainya membangun suatu daerah niscaya ia memberikan hadiah kepada warga maupun brahmana.
Konsep lain dari kearifannya dapat pula ditenggarai dalam cara-cara Purnawarman menjaga hubungan baik dengan para Brahmana, bahkan ia membangun tempat tempat suci seperti diwilayah Indraprahasta. Hubungan raja brahmana demikian dapat mensinergikan antara masalah duniawi (raja) dan masalah akhirat (brahma).

Dalam cara-cara mempertahankan kejayaan tersebut di jaman Wisnuwarman dilakukan dengan cara yang benar-benar adil dan berani mendelagasikan pengawasan dan kebijakannya kepada raja-raja bawahan. Iapun memberikan punishment yang seimbang dengan tingkat kesalahan para pelanggarnya. Hal ini terbukti pada cara-cara memberikan hukuman terhadap para pemberontak. Namun tentunya, masalah kepercayaan (dipercayai dan dapat memegang kepercayaan) merupakan factor analisa yang pentinga ia lakukan, sehingga tanpa perangpun Ia mampu mempertahankan kejayaan Tarumanagara.(**)

Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari berbagai sumber.


Situs Batujaya

Situs Batujaya terletak wilayah Karawang Jawa Barat + 45 km di sebelah timur kota Jakarta. Situs Batujaya secara umum memiliki peninggalan arkeologi, dilahan yang seluas sekitar 5 km persegi, berada pada lahan-lahan persawahan serta sebagian kecil yang terletak disekitar pemukiman. Tidak jauh dari lokasi Situs terdapat Sungai anak Citarum.

Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150 - 400 M. Dengan demikian candi yang terletak di Situs Batu merupakan Candi tertua yang ada di Indonesia.

Situs Batujaya ditemukan pada tahun 1985 setelah ada laporan dari masyarakat setempat. Serangkaian penelitian dan penanganan peninggalan budaya tersebut hingga tahun 2006 telah tercatat sebanyak 24 bangunan kuno yang masih dalam bentuk Unur, atau gundukan tanah yang didalamnya terdapat reruntuhan bangunan kuno, diduga berupa candi. (Pada kunjungan dsaya terakhir, maret 2010 penduduk memperkirakan sudah ditemukan 26 bangunan yang masih berbetuk Unur).

Ciri-ciri yang tampak pada sejumlah bangunan yang digali menampilkan sejumlah bentuk profil, bentuk relung, serta sejumlah bagian bangunan yang merupakan bangunan candi. Hingga kini dari sekitar 24 sisa bangunan yang ada, baru 4 buah tengah ditangani, 2 bangunan telah selesai dipugar.

Nama-nama bangunan yang ada disesuaikan dengan nama yang diberikan oleh masyarakat setempat, seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan atau dengan nama desa tempat bangunan tersebut berada, seperti bangunan Segaran untuk bangunan yang ditemukan diwilayah Segaran, Telagajaya untuk bangunan yang ditemukan di wilayah Telagajaya.

Dekat dari unur-unur tersebut biasanya terdapat cekungan tanah yang dikenal dengan nama kobak (kolam), letaknya agak lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitar. Ukuran cekungan tersebut bervariasi, mulai dari 5 m x 5m hingga 25 m x 25 m. Pada Musim penghujan cekungan tersebut tergenang air. Cekungan-cekungan tersebut ada kaitannya dengan keberadaan bangunan itu sendiri.

Gambaran umum beberapa unur (candi) di Situs Batujaya adalah sebagai berikut :

Candi Jiwa
Bangunan Segaran 1 atau dikenal juga dengan nama Candi Jiwa terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, berjarak sekitar 200 m kearah barat dari jalan Kaliasin. Badan bangunan ini masif, tidak memiliki ruangan., ber ukuran 19 m x 19 m dan tinggi 4,7 m, dengan orientasi kearah tenggara baratlaut. Pada bagian kakinya terdapat profil bangunan berbentuk pelipit rata (patta) dan pelipit penyangga (uttara) serta pelipit setengah lingkaran (kumuda).

Candi Jiwa pada bagian fondasi bangunan tidak ditemukan tanda adanya bekas pintu. Pada permukaan atas bangunan membentuk pola yang melingkar dengan diameter sekitar 6 m. gejala ini menimbulkan pertanyaan apakah susunan bata melingkar itu merupakan bagian dari stupa atau merupakan bentuk lapik dari sebuah teras. Di bagian permukaan atas, pada keempat sisinya menampakkan permukaan yang bergelombang yang seolah-olah sengaja dibuat. Tidak tampak tanda adanya bagian atau komponen bekas atap bangunan.

Susunan bata bangunan candi terdiri dari dua lapis, lapisan bagian luar dan dalam, sehingga diduga bahwa bangunan dibangun dua kali atau mungkin pernah diperluas atau diperbesar. Sementara itu pada keempat sisinya ditemukan bekas-bekas relung masing-masing dengan pasti apakah dahulunya relung-relung tersebut merupakan tempat menempatkan arca.

Pada saat ini bangunan candi Jiwa telah selesai dipugar sesuai dengan bentuk aslinya saat ditemukan. Sekelilingnya telah diberi pagar besi. Pada tahun 2008 Candi Jiwa telah menjadi pusat perayaan Bhakti waisak umat Buddha dari Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Candi Blandongan
Bangunan Segaran V atau penduduk setempat lebih mengenal dengan sebutan Candi Blandongan, terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya. keseluruhan candi merupakan salah satu yang terbesar bila dibandingkan dengan unur-unur yang lainnya.

Penelitian terhadap bangunan Candi Blandongan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1992 s.d. 1998. Pada saat itu telah berhasil menampakkan denah berbentuk bujursangkar. Tangga naik terletak di sisi timurlaut, tenggara, barat daya dan barat laut bangunan. Disisi kiri kanan tangga naik terdapat pipi tangga. Bangunan bata ini pada umumnya telah mengalami kerusakan, disebabkan factor usia tetapi masih ada bagian yang menjadi rujukan dalam pemugaran. Anak tangga dilapisi dengan batu andesit yang dibentuk dan berukuran sama dengan ukuran batat (8x15x40 cm). Pada tangga naik teratas terdapat ruang. Ruang ini berukuran 2 m x 2,3 m berfungsi sebagai pintu menuju bagian dalam halaman candi. Lantai ruangan ini dilapisi dengan batu kerikil yang dicampur dengn semacam adonan lepa yang berwarna putih dan dicampur dengan bubukan kerang.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bagunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan sutu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalannya sekitar 1,75 m. Bagian luar tembok keliling ini terdapat hiasan-hiasan pelipit datar, pelipit kemuda, pelipit sisi genta dan hiasan kerucut terpotong.

Dinding luar tembok keliling ini mungkin dahulunya dilapisi dengan lepa yang berwarna putih, karena sisa-sisa lepa dapat ditemukan dibeberapa tempat, misalnya pada bagian bawah pelipit kemuda dengan ketebalan sekitar 0,5 cm. Dibagian luar tembok keliling denahnya tidak luas, tetapi terdapat penampil berukuran 1,5 m menjorok ke luar sekitar 40 cm, terletak diantara tangga naik dan sudut bangunan. Sudut luar bangunan juga menjorok ke luar sekitar 50 cm seperti bentuk bastion sebuah benteng.

Pada bagian dalam tembok keliling terdapat halaman yang dibuat dari bata dilapisi dengan kerikil yang diaduk denganadoanan lepa berwarna putih. Karena termakan usia , lapisan ini sudah terkikis dan yang tampak adalah lantai bata. Lapisan kerikil ini masih tersisa dekat dengan sudut selatan halaman. Selain itu terdapat dua buah batu andesit yang permukaannya datar. Tepat di tengah halaman terdapat bangunan inti. Bangunan inti kini hanya menyisakan bagian kaki yang denahnya bujursangkar dengan ukuran 9,2 m x 9,2 m. Sudut-sudutnya menonjol seperti bastion pada sebuah benteng. Permukaan atasnya sudah rusak terdapat semacam saluran air pada masing-masing sudut.

Sejak pertama kali penelitian sejak 1996 hingga sekarang (saat pemugaran) berhasil ditemukan sejumlah benda-benda suci yang biasa digunakan pada upacara keagamaan. Benda-benda tersebut ditemukan pada relung di sisi baratdaya bangunan, berupa amulet dari bahan tanah liat yang dibakar, tertera mantera-mantera dan penggambaran tokoh dalam Agama Budha.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bangunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalan 1,75 m.

Berdasarkan pengamatan pada fisik bangunan, ada usaha untuk menata bangunan yang sudah rusak. Gejala ini tampak dari tekhnik penyusunan bata, ada yang diletakan ada pula yang ditumpuk. Bata yang diletakan menunjukkan keaslian bangunan.

Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150-400 M. Bangunan Candi Blandongan sekarang ini masih dipugar (tahap akhir) oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Propinsi Banten.

Sejarah Situs Batujaya
Sejarah Indonesia kuno telah mencatat bahwa peradaban yang mula-mula muncul di Indonesia adalah peradaban bercorak Agama Hindu, yang berlangsung di dua pusat yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Dari prasasti-prasasti yang paling awal yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, meskipun tidak menyebutkan angka tahun yang lengkap, dapat diketahui bahwa kerajaan yang pertama kali berkembang diwilayah ini adalah kerajaan Tarumanegara yang berdiri sekitar abad ke IV Masehi. Prasasti-prasasti tertua yang menyebutkan keberadaan Prasati Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Lebak, Prasasti pasir Jambu (Koleangkak) dan Prasati Pasir Awi.

Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumpu, Desa tugu kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Transkipsi prasati Tugu :
Pura rajadhirajena guruna, Pinabahuna Khata Khyata, Puri prapya Candrabhagaenavam yayau, Pravarddharmana Dvavinsad Dvavinsad.
Dhvajabhutena Crimata purnavarmmana caitrasukla, Trayodsyam dinais siddhaikadhvin sakali, Ayata sastrasahasrena dhanusam sasatena ca, Dyayinsena nadi ramya gomati nirmaladaka, Vhrahmanairgga sahasrena prayati krtadaksina.
Terjemahan :
(Raja Purnawaran yang bijaksana berhasil membuat dua sungai (kali), yaitu Candrabhaga dan Gomati hingga mengalir ke laut, dengan panjang ± 6.122 tumbak, dimulai tanggal 8 paro-petang bulan caitra (±21 hari). Selamatnya dengan menghadiahkan 100 ekor sapi).

Prasasti-prasasti itu berdasarkan ukuran batunya, dapat diketahui dibuat disitu. Sedangkan dari gaya tulisan dan bahasa prasasti berasal dari kurun waktu abad V Masehi. Tulisan menggunakan huruf Pallawa dengan Bahasa Sansekerta. Adanya penggunaan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa merupakan bukti bahwa pada masa itu telah terjadi kontak budaya antara Tarumanagara dengan kerajaa-kerajaan di India.

Dilokasi Situs batujaya hingga tahun 1993 telah ditemukan candi berjumlah 24 buah. (terakhir pada mei 2010 sudah ditemukan 26 bangunan masih dalam bentuk unur dan dimungkinkan masih banyak lagi). Selain itu di wilayah pantai utara Karawang terdapat pula pusat percandian yaitu di situs Cibuaya, di Desa Cibuaya dengan temuan candi berjumlah 6 buah bangunan. Dapat dibayangkan bahwa pada masa lampau di wilayah (Karawang dan sekitarnya) ipernah ada suatu komonitas yang cukup besar jumlahnya dan memiliki kemampuan tekhnologi yang cukup tinggi sehingga mampu menciptakan sejumlah besar bangunan yang terbuat dari material bata, tentunya sebelum membangun, masyarakat setempat harus menguasai tekhnologi pembuatan bata, baik tentang pemilihan bahan baku, proses pembuatan hingga pembakaran pada suhu cukup tinggi. Disamping itu di daerah kecamatan Perwakilan Cibuaya pada tahun 1952-1957 juga pernah ditemukan 2 buah arca Wisnu.

Menurut penelitian secara ikonografinya diduga bahwa kedua arca tersebut berasal dari abad ke VII-VIII. Selanjutnya pada tahun 1975 ditemukan fragmen arca Wisnu yang lain yang diduga juga sejaman dengan kedua arca tersebut. Kehadiran sejumlah besar bangunan yang mempunyai cirri-ciri budaya Budha di situs Batujaya dan Hindu di situs Cibuaya itu sendiri merupakn hal penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, karena dapat dikatakan bahwa telah berkembang masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha pada abad ke V-VIII di wilayah Jawa Barat.

Hubungan antara kawasan percandian Situs Batujaya dengan Kerajaan Tarumanagara didasarkan atas tafsiran salah satunya isi prasasti Tugu tersebut, bahwa Kerajaan Tarumanagara wilayah kekuasaan meliputi (masa pemerintahan Raja Purnawarman) setidak mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten. Apabila perkiraan ini benar adanya, maka Situs Batujaya merupakan komplek percandian yang masuk dalam kategori tua di Indonesia (untuk sementara tertua di Indonesia, yang diperkirakan dibangun sejak abad ke 4 Masehi).

Kerajaan Tarumanagara pada akhir abad ke 8 M mulai mengalami kemunduran. Hal ini diperkuat oleh berita Cina bahwa sesudah Tahun 669 M, Kerajaan To-lomo tidak mengirim utusan ke Cina lagi. Dengan mundurnya Kerajaan Tarumanagara dan muncul 2 kerajaan baru yang semula merupakan kerajaan bawahan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang berkembang pada masa yang bersamaan (abad VII). Kerajaan Sunda daerah kekuasaannya disebelah Timur Sungai Citarum. Selama pergeseran politik dari lenyapnya Tarumanagara dan munculnya Galuh dan Sunda tidak banyak berubah dalam kehidupan keagamaan.

Penelitian tahun 2005 yang merupakan bagian integral dalam penelitian arkeologi di situs Batujaya menunjukkan bahwa okupasi lahan di areal situs Batujaya diketahui telah dilakukan sejak periode Tembikar Buni (Buni Pottery Complex) dan terus berlangsung hingga periode Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Ekskavasi pada beberapa lokasi terpilih berhasil menemukan sejumlah kerangka manusia beserta bekal kuburnya yang semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah para pendukung kompleks Tembikar Buni. Selain itu ditemukan pula fragmen-fragmen tembikar Arikamedu (India) berada pada lapisan yang sama dengan fragmen-fragmen tembikar Buni termasuk sisa-sisa kerangka manusianya.

Budaya dan Religi
Situs Batujaya yang berlatar Agama Buddha dengan tinggalannya berupa percandian sebanyak 24 buah dikawasan seluas 5 km ini kini tertata dengan baik. Sehingga banyak menarik perhatian masyarakat dan telah menjadi objek wisata yang sering dikunjungi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat yang bertujuan ingin mengetahui situs ini. Disamping itu, situs Batujaya telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian di bidang kebudayaan, sejarah dan pariwisata.

Baru-baru ini pada tanggal 1 Juni 2008 umat Buddha dari propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten menyelenggarakan perayaan Puja Bhakti Waisak ke 2552 BE atau tahun 2008 untuk mengenang kembali perjuangan Bodhisatva Sidharta dalam mencapai kesempurnaan hidup menjadi Buddha di pelataran Candi Jiwa dan Candi Blondongan,di situs Batujaya.

Untuk melengkapi keperluan para wisatawan baik dalam dan luar negeri, Pemerintahan Propinsi Jawa Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat telah membangun Site Museum Batujaya secara permanen, terletak ditepi jalan Desa Segaran atau ± 200 meter sebelah selatan Candi Jiwa. Disamping untuk keperluan wisatawan, gedung ini untuk menyimpan dan sekaligus memamerkan temuan-temuan artefaktual. Koleksi yang dipamerkan di museum ini berjumlah ± 165 buah artefak berupa keramik, gerabah, fosil tulang binatang, dan fosil tumbuhan, replica kepala arca manusia dan binatang, manik-manik kaca dan tanah liat (terakota), bernagai bentuk bata. Disamping itu juga dipamerkan buku-buku yang berisi kepurbakalaan Situs Batujaya. (*)

Disadur dan disarikan dari :
Buklet Situs Batujaya, Kabupaten Karawang – Propinsi Jawa Barat, Penyusun Dra. Heni Fajria Rif’ati – Drs. Eddy Sunarto, Penyunting/Editor Dra. Wana Sundari. Pemda Jabar - Dinas Kebudayaan dan Parawisata.

Maharaja Sanjaya

Sanjaya menjadi penguasa Galuh setelah ia mampu menyingkirkan Purbasora dari kedudukannya sebagai raja Galuh. Namun masih sulit menetapkan tahun kekuasaannya di Galuh. Dalam seri Nusantara dan Kretabhumi disebutkan, Sanjaya berkuasa pada tahun 645 – 654 Saka. Tetapi didalan Kitab Pararatwan Jawadwipa disebutkan dari tahun 645 – 647 menjadi penguasa Sunda sedangkan di Galuh ditulis sejak tahun 647 – 654 menjadi penguasa Sunda dan Galuh.

Didalam thesisnya tentang Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan, Nana Supriatna, mengemukakan : Eksistensi Sanjaya di jawa barat diperoleh dari prasasti Canggal (732 M), menerangkan mengenai seorang raja bernama Sanjaya yang mendirikan tempat pemujaan untuk dewa Siwa di daerah Wukir. Dia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya adalah pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa atas kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian utara. Jika dihubungkan dengan kekuasaan di Sunda dan Galuh, maka ia menguasai sebagai besar Pulau Jaya.

Akan tetapi apabila isi prasasti tersebut dihubungkan dengan isi Carita Parahyangan yang menerangkan tentang berkuasanya Sanna di Galuh, Sanjaya adalah raja Galuh yang menggantikan Sanna setelah dia berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang merebut tahta raja Sanna.

Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, yakni Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan yang diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat itu menjadi bagian dari kerajaan Galuh.

Sanjaya menggantikan Tarusbawa, sebagai raja Sunda pada tahun 723 M. Ia menikahi Teja Kencana, Cucu Tarusbawa. Pada tahun yang sama Sanjaya berhasil merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora. Hak sebagai penguasa Galuh didapatkan dari garis keturunan Sena - Sanna, ayahnya. Dengan demikian di Jawa Barat, Sanjaya berhasul menyatukan kembali wilayah Tarumanaraga (Sunda - Galuh). Ia pun berkedudukan di Pakuan.

Dalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, Sanjaya dianggap mampu menaklukan Indrawarman, raja Sriwijaya, yang menutut sebagaian Tarumanagara, sebagai sesama keturunan Linggawarman dari Tarumanagara.

Selain menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Medang, Sanjaya memilki kekuasaan yang telah diakui oleh Prabu Narayana (Iswara) di Kalingga Selatan. Kalingga memiliki wilayah yang meliputi sebagai besar Jawa Timur. Hal ini dilakukan melalui cara menaklukan raja-raja kecil sebelum melakukan ekspansi ke Sumatera. Sedangkan PrabuIswara memiliki wilayah sebelah timur dari Progo Utara.

JIka dilihat dari peta Pulau Jawa, praktis Sanjaya menguasa sebagai besar Pulau Jawa sehingga ia berhak menyandang gelar sebagai penguasa Pulau Jawa.

Konsolidasi Galuh
Pasca perebutan tahta yang akhirnya menewaskan Purbasora, Sanjaya mengirimkan untusan (patih) untuk menghadap Danghiyang Guru Sempakwaja, ayahnya Purbasora di Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya meminta agar Demunawan, putra Sempakwaja mau dijadikan ‘piparentaheun’ – wakil Sanjaya yang bertugas menjalankan roda pemerintahan di Galuh.

Permintaan Sanjaya tersebut bertujuan agar perselisihan diantara keturunan Sempakwaja dan Mandiminyak dapat terselesaikan dengan baik, karena keduanya masih tunggal keturunan Wretikandayun, pendiri kerajaan Galuh. Alasan lainnya dapat ditemukan didalam naskah Nusantara III/1, hal 158, sebagai berikut :
  • Sanjaya menjadi raja Galuh Pakuan pada tanggal 4 bagian gelap Caitra tahun 645 saka. Sejak waktu itu Sanjaya menjadi raja Sunda dan Galuh. Tetapi kaum kerabatnya tidak senang melihat Sanjaya menguasai raja-raja daerah di Galuh. Terutama Sang Resiguru Sempakwaja dan Sang Demunawan paling tidak senang melihat Sanjaya menjadi penguasa di daerah-daerah sekitar Galuh dan melihat Galih menjadi bawahan (mandalika) Kerajaan Sunda. [RPMSJB, Jilid kedua, hal 66]
Sempakwaja mengkhawatirkan permintaan ini sebagai jebakan agar Demunawan turun ke Galuh untuk kemudian dibunuh. Alasan lainnya terkait dengan keteguhan hatinya, ia tidak rela anaknya diperintah raja Sunda. Dahulu Wretikandayun, ayah Sempakwaja sudah bersusah payah memerdekakan Galuh dari Sunda, dengan dijadikannya Demunawan sebagai piparentaheun di Galuh sama halnya dengan mengulang kembali kekuasaan Sunda di Galuh.

Dari kekhawatiran itu pada akhirnya Sempakwaja menolak secara halus. Sempakwaja mengemukakan, : Jika Sanjaya ingin dianggap pantas memerintah Galuh, maka Sanjaya harus terlebih dahulu mengalahkan (nyandoge) tiga tokoh kepercayaan Sempakwaja, yakni Pandawa, Wulan dan Tumanggul.

Ketiganya masing-masing raja didaerah Kuningan, raja Kajaron dan raja Kalanggara di Balamoha. Kekuasaan yang dipegang Sanjaya dianggap tidak ada apa-apanya jika Sanjaya belum mampu menaklukan raja di Jawa Tengah dan sekitar Galuh. Jika Sanjaya mampu menguasai mereka maka Resiguru Demunawan, putra Sempakwaja, masih ua Sanjaya, pantas mempertuan Sanjaya. Namun jika Sanjaya tidak mampu menundukan mereka maka Sempakwajalah yang akan menentukan penguasa Galuh.

Dialog dan persyaratan tersebut di tulis di dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru. / Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan. / Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji / Teprs jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang / Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."  Carek Rahiang Sanjaya: "Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna." Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun naon, patih?" / "Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang purbasora."
Menurut penulis Carita Parahyangan tersebut, Sanjaya tidak mampu mengalahkannya, bahkan sebaliknya Sanjaya dipukul mundur dan dikejar hingga kembali ke Galuh. Rupa-rupanya Sempakwaja sudah dapat mengukur kemampuan Sanjaya, sehingga permintaan itu pun ditolak dengan cara yang disyaratkannya.

Peristiwa tentang kekalahan Sanjaya dikisahkan pula dalam naskah ini, sebagai berikut :
  • Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka walungan  Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.  "Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran."  Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, / Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile. Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, / Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?". "Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan." Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Sanjaya pasca kekalahannya tersebut dilaporkan langsung kepada Danghyang Guru Sempakwaja. Pada akhirnya Sanjaya menyerahkan penunjukan penguasa Galuh tersebut kepada Danghyang Guru. Untuk itu Sempakwaja menunjuk Premana Dikusumah, cucu Purbasora dari putranya yakni putra Patih Wijayakusumah. Dengan demikian Sanjaya pun menerima usul tersebut. Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana Dikusumah.

Saung Galah
Sempakwaja sebagai penguasa Galunggung ia berniat untuk mengimbangi kekuatas Sanjaya di Galuh, resminya dijalankan oleh Permana Dikusumah. Untuk keperluan tersebut ia menunjuk Demunawan, putranya sebagai raja Layuwatang, sedangkan Sang Pandawa dimintakan sebagai guruhaji [rajaguru] di Layuwatang dan menyerahkan Kuningan kepada Demunawan, menantunya.

Demunawan dikenal juga sebagai Sang Seuweukarma atau Rahiyangtang Kuku. Sebagai seorang resiguru ia memiliki cakupan wilaha yang luas, maka pada pada tahun 723 Demunawan dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan. Wilayah Galunggung dan kerajaan kecilnya dijadikan wilayah dibawah Saung Galah, terletak di lereng Gunung Ciremai sebelah selatan. Sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadu Gede Kuningan, sebelah utara Waduk Darma.

Pada saat itu daerah kekuasaanya meliputi 13 wilayah, yakni Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdon, Pagergunung, Muladarma dan Batutihang. Empat daerah tersebut dikepalai oleh seorang Guru Haji, sedangkan wilayah lainnya dikepalai oleh Buyut Haden, didalam naskah Wangsakerta disebutkan Kyagheng atau Kiageng, Kigede,

Sanjaya harus teguh pada janjinya kepada Sempakwaja, ia tidak mengganggu adanya perluasan wilayah tersebut, terutama dengan diproklamirkannya Saung Galah. Dengan kekalahannya pada waktu Nyandoge maka ia harus tetap menerima syaratnya, bahkan ia dianggap belum layak untuk diakui kelebihannya oleh Demunawan.

Menurut Nusantara III/1 : Sanjaya telah berhasil menaklukan daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur pada tahun 724 M. Daerah tersebut kebanyakan pendukung Demunawan yang memusuhi Sena yang sedang berkuasa di Bumi Mataram. Sanjaya kemudian secara ekspansif menyapu daerah pinggirian kekuasaan Demunawan. Pada kesempatan itu pula ia melunasi hutangnya untuk mengalahkan Sang Wiragati dan kawan-kawan yang pernah mengalahkannya di Kuningan.

Serangan Sanjaya tersebut sebenarnya hanya bertujuan menebus kekalahan, bukan untuk menguasai. Untuk kemudian ia kembali ke ibukota Galuh. Demunawan melihat adanya penambahan kekuatan Sanjaya dibanding pada masa lalu, sehingga daerah manapun yang ia inginkan diniscayakan dapat ditaklukan. Namun Sanjaya masih tetap berupaya untuk bersikap baik kepada Demunawan.

Alasan Sanjaya ini dikemukakan di dalam Kretabhumi I/2. Naskah tersebut menjelaskan, bahwa sebenmarnya Sanjaya tidak merasa takut terhadap Demunawan, namun ia tidak berniat menyerang Saung Galah. Hal ini disebabkan adanya perintah dari Prabu Sena, ayahnya, agar ia bersikap mulia kepada sanak kekuarganya dan tidak boleh memerangi kerabatnya, yakni Demunawan. Memang dalam beberapa naskah Wangsakerta selalu menggambarkan adanya rasa hormat Sanjaya kepada orang tuanya. Hal ini yang selalu dijadikan alasan untuk tidak melakukan penyerangan terhadap Galuh. Padahal ia dikenal sebagai raja yang paling ekspansif dan pemberani.

Hikmah dari sikapnya ini membuahkan hasil, pada tahun 674 saka atau 725 M, Demunawan mengakui kekuasaan Sanjaya di Galuh, bahkan dikisahkan pula kedatangan Demunawan ke Galuh yang disambut diperbatasan oleh Sanjaya. Para penulis menjadikan peristiwa ini sebagai titik awal berkuasanya Sanjaya di Galuh.

Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.

Didalam Carita Parahyangan dituliskan tentang pesan Sanjaya kepada Tamperan, putranya :
Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: "Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya." Rahiang Sanjaya menasehati putranya, Rakean Panaraban, Rahiang Tamperan : ‘Jangan mengikuti agama ku, karena itulah yang menyebabkan aku ditakui orang banyak’
 Cag Heula (***)

Sumber bacaan :
  • Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
  • Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
  • Tjarita Parahyangan - Drs. Atja - Jajasan Kebudayaan Nusalarang (Bandung1968)
  • Wikipedia - Kerajaan Galuh, 28 Maret 2010.

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih