Senin, 28 September 2009

Maulana Yusuf (1570-1580)


Panembahan Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Maulana Yusuf disebut-sebut menikah dengan Ratu Winaon dan berputra Pangeran Muhammad, kelak dikemudian hari Pangeran Muhammad mewarisi takhtanya. Panembahan Yusuf dimakamkan diluar kota Banten dan dikenal dengan sebutan Pangeran Pasarean.
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf membangun saluran-saluran dan benteng yang terbuat dari batu bata merah dan karang. Disinyalir pula ia memperluas mesjid Agung yang dibangun Maulana Hasanudin, serta membangun mesjid di Kasunyatan. Pada masa tersebut Banten dikenal kepenjuru dunia sebagi pusat pemerintahan di Jawa Barat dan perdagangan.
Tentang pembangunan Banten pada masa Panembahan Yusuf diabadikan didalam naskah Banten, dan menyebutnya, sebagai : gawe kuta buluwarti bota kalawan kawis. (membangun kota dengan menggunakan bata dan karang, terutama untuk kubu pertahanan). Selain itu juga membangun perkampungan, sawah ladang, dan bendungan.
Panembahan Yusuf tertarik untuk menyebarkan agama Islam keseantero Jawa Barat. Ia pun memperkuat wilayah negaranya da mempersiapkannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika
Ing sasih muharam singgih
Wimbaning sasih sapisan
Dinten ahad tahun alif
Puningka sangkalanya
Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Kondisi di Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati (keraton Pajajaran). Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya, berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Sepeninggalnya Nilakendra, Pakuan masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Bukan karena ada parit-parir dan benteng-benteng pertahanan yang dahulu dibangun Sri Baduga Maharaja, melainkan juga soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).

Bahan bacaan :
1. Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, jilid 4, 1983– 1984.
2. Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar, Geger Sunten – Bandung, 1997
3. Kapitalisme Pribumi Awal – Bab II, Gambaran Masyarakat di Kesultanan Banten, Heriyanti Ongkodharma Untoro, FIB UI – Cetakan Pertama - 2007

Tidak ada komentar:

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih