Banga tentunya berada diposisi yang dirugikan akibat perjanjian Galuh, karena Sunda menjadi dibawah kontrol Galuh. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora yang menempatkan Galuh dibawah kontrol Sunda. Konon kabar Sanjaya sebagai kakeknya merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut.
Jika dilihat dari tahun kelahiran Banga, yakni pada tahun 724 M, ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. Masalah umur Banga dimungkin menjadi pertimbangan penting sehingga Sunda berada di bawah kontrol Galuh, sehingga dalam suasana yang penuh persaudaraan tersebut, maka Sanjaya dan Demunawan memutuskan agar Manarah menjadi walinya. Namun rupanya para sejarawan tidak melihat adanya spekulasi kearah sana, mengingat hubungan Sunda dan Galuh pada waktu itu dianggap sangat tajam, sehingga keputusan ini pun hanya dilihat dari sisi untung dan rugi, tidak dari nilai musyawarah yang sangat bersifat kekeluargaan.
Banga pada periode selanjutnya secara perlahan menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, ia pun tentu mendapat restu dan bantuan Sanjaya, hingga Banga menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Merdeka.
Tindakan Banga dianggap menyulut kemarahan Manarah. Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dengan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai negara yang merdeka.
Kesepakatan ini akhirnya tercapai kembali. Banga meninggal pada tahun 766 M, masih berumur 42 tahun. Namun pada tahun 852, Rakeyan Wuwus, keturunan Banga menjadi pewaris Sunda dengan Galuh, dikarenakan Linggabumi, keturunan Manarah tidak memiliki keturunan.
Banga mempunyai putera bernama Rakeyan Medang, ia menjadi raja Sunda selama 17 tahun (766-783 M) dengan gelar Prabu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakeyan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakyan Hujungkulon atau Prabu Gilingwesi (783 – 795 m), raja ini adalah putera Sang Manisri dari Puspasari, putri Manarah. Kisah Manisri dan Puspasari diabadikan dalam cerita rakyat yang terkenal dengan sebutan “Lutung Kasarung”. Tentu saja Manisri dianggap putra Sang Hyang Ambu, karena memang Manisri tidak dikenal leluhurnya, sehingga masyarakat menganggap ia turun dari Kahyangan.
Dalam kisah selanjutnya, antara Sunda dengan Galuh, atau antara keturunan Manarah dengan Banga telah terjadi perpaduan akibat perkawinan. Demikian pula pada tahun 852, Rakeyan Wuwus keturunan Banga menguasai Sunda dengan Galuh, karena Prabu Linggabumi, penguasa Galuh tidak memiliki keturunan, sedangkan Rakeyan Wuwus menikahi adik dari Linggabumi. Inilah semangat mempersatukan antara keturuan Sunda dengan Galuh.
Peristiwa ini pun terjadi sebaliknya, karena Rakeyan Wuwus tidak memiliki keturunan, maka tahtanya dilanjutkan suami adiknya, yakni Arya Kedaton, cucu dari Sang Tariwulan penguasa Galuh. Arya Kedaton memerintah pada tahun 891 sampai dengan 895, ia bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana. Namun tahta tersebut hanya diduduki dalam waktu yang sangat singkat, karena Ia dibunuh seorang Mantri Sunda yang fanatik, tidak mau tahta Sunda diperintah orang Galuh.
Perpaduan Sunda dengan Galuh semangatnya pada masa itu memang baru terjadi ditingkat penguasa, tentunya sangat terkait dengan keberhasilan Resi Demunawan didalam menginisiasi pernikahan antara keturunan Sunda, Galuh dan Saunggalah. Namun ditingkat bawah dan masyarakat masing-masing masih memiliki perbedaan yang cukup tajam, sehingga para akhli menganggap, antara Sunda dengan Galuh pada masa itu masih memiliki perbedaan budaya dan tradisi yang sangat tajam dan sulit dipadukan.
Entitas Sunda - Galuh
Menurut para ahli sejarah sebagaimana ditulis dalam RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh dimasa lalu memiliki entitas yang mandiri, perbedaan tradisi yang mendasar. Menurut Prof. Anwas Adiwilaga : Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun.
Perbedaan tradisi Sunda dan Galuh mungkin pada waktu itu dianggap menghambat hubungan keduanya. Urang Galuh merasa kurang nyaman jika dipimpin keturunan Sunda, demikian pula sebaliknya. Upaya menyatukan pernah dilakukan melalui perpaduan atau perkawinan dikalangan para raja dan keluarganya. Seperti perkawinan keturunan Manarah (Galuh) dengan Banga (Sunda), bahkan dikarenakan Manarah tidak memiliki keturunan laki-laki, maka keturunan Bangga, Rakeyan Wuwus, yang ditikahkan dengan adik Prabu Langlangbumi diangkat menjadi Raja Galuh.
Peristiwa ini menandakan adanya perpaduan keturunan Manarah dan Banga. Namun penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan urang sunda.
Diyakini diantara kedua leluhur tersebut tidak memiliki rencana dan kesepakatan untuk memilih nama dari gabungan kedua tradisi tersebut, seperti menggunakan nama sunda atau Galuh atau Sunda Galuh. Namun nama ‘Sunda’ sejak abad ke-13 sudah banyak digunakan untuk menyebut Urang Galuh dan Urang Sunda, bahkan sumber-sumber berita luar sudah banyak menyebut penduduk yang ada di wilayah Jawa Barat dengan istilah ‘Urang Sunda’. Mungkin juga Urang Sunda ketika itu dianggap lebih berperan dibandingkan Urang Galuh. Sehingga entitas penduduk di kedua wilayah tersebut disebut Urang Sunda.
Ada juga yang menyebutkan, perbedaan budaya Sunda dan Galuh tidak mendasar, dibandingkan dengan etnis lain. Masalah ini hanya di blow up oleh pihak penjajah, bertujuan agar Urang Sunda dan Urang Galuh tidak bersatu, namun Sunda dan Galuh adalah entitas yang sama, keduanya penerus generasi para penguasa ditatar Sunda, khususnya penerus Tarumanagara. Walahuallam (**).
Sumber bacaan :
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung - 2005
- Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.