Senin, 28 September 2009

Jaman Para Sultan


Menurut Untoro yang mengutip pendapat Aca (1986) dan Ekadjati (1978 ; 1983) mengemukakan, bahwa : “Pendirian Kesultanan Banten dirintis oleh tiga unsur, yaitu Cirebon, Demak dan Banten sendiri, dengan pelopornya Sunan Gunung Jati, Fatahilah dan Maulana Hasanudin. Akibat pengaruh ini akhirnya sunda kalapa diserahkan kepada Fatahillah, sedangkan Banten di percayakan kepada Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati yang kemudian mendiirikan pusat pemerintahan sendiri di Banten dan melepaskan diri dari Demak”.
Untoro dalam diskripsinya membagi masa kesultanan Banten menjadi dua bagian, yakni masa Maulana Hasanuddin sampai dengan masa pemerintahan Sultan Haji dan masa pemerintahan Sultan Haji sampai dengan masa-masa sultan sesudahnya.
Sebelum Sultan Haji diperkirakan Banten belum banyak dipengaruhi Belanda. Pada masa tersebut Banten masih berdiri secara mandiri bahkan mengalami masa kejayaannya. Pada masa Sultan Haji dan setelahnya Banten sangat tergantung kepada Belanda, bahkan menjadi jajahan Belanda. Alasan inilah kemudian dijadikan patokan kemandirian Banten dari Belanda.
Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.
Untoro (2007) menyebutkan, sejak ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 april 1684 praktis kekuasaan Kesultanan Banten dapat dianggap runtuh. Lebih lanjut menyebutkan :
Perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda ditandatangani di Keraton Surasowan, dibuat dalam bahasa Belanda dan Jawa dan Melayu. Penanndatanganan dari pihak Kompeni dilakukan oleh komandan dan presiden komisi Franscois Tack, Kapten Herman Dirkse Wendepoel, Evenhart van der Schuere serta Kapten bangsa Melayu, Wan Abdul Kahar, sedangkan dari pihak Banten dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar, pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tadjudin, pangeran Natanegara, dan pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita : 1967 : 54). Sejak perjanjian tersebut Kompeni secara langsung aktif menentukan monopoli perdagangan Banten.
Tentang Fatahillah dan Sunan Gunung Jati
Menurut Djajadiningrat, Sunan Gunung Jati identik dengan Fatahilah (Faletehan). Hal ini disebabkan mengambil rujukan dari Sejarah Banten dan berita Portugis serta mengambil rujukan dari Sunan Gunung Jati yang berasal dari Pasai, sama halnya dengan asal mula Fatahilah. Djajadinigrat menghubungi nama Fatahilah dengan istilah Fath (arab : Kemenangan), sedangkan nama Tagaril berasal dari berita Portugis dikaitkan dengan kota di Arab – Fahru’llah, juga merujuk pada tahun wafatnya.
Beda haknya dengan pendapat Atja yang mengaju kedalam buku Tjarita Tjaruban. Ia berpendapat bahwa Fatahilah sama dengan Tagaril namun ia menantu Sunan Gunung Jati. Dimakamkan di Gunung Sembung –Cirebon. Memang di komplek pemakaman tersebut ada dua makam yang diyakini sebagai makam kedua tokoh tersebut, yakni Sunan Gunung Jati dan Fatahilah.
Bahan bacaan :
Kapitalisme Pribumi Awal – Bab II, Gambaran Masyarakat di Kesultanan Banten, Heriyanti Ongkodharma Untoro, FIB UI – Cetakan Pertama - 2007

Tidak ada komentar:

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih