Kamis, 11 Maret 2010

Pakungwati


Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.

Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.

Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.

Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.

Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.

Pendiri Pakungwati
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Pangeran Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang.

Daerah baru tersebut berkembang pesat. Dua tahun setelah didirikan tercatat ada 346 orang. Kampung baru Cirebon Pasisir, penduduknya terdiri atas caruban (campuran) berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.

Setelah menunaikan ibadah haji Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Kemudian bermukim di Mekah selama 3 bulan. Di Cirebon, isterinya Indah Geulis, putri dari Ki Danuwarsih telah melahirkan seorang puteri. Untuk kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.

Dalam rangka penyebaran agama, ia memperisteri Ratna Riris (puterinya Ki Danusela) dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Selanjutnya Ki Danusela wafat, Walangsungsang diangkat menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang.

Ketika Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Walangsungsang mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah. Dengan modal inilah ia mendirikan keraton yang kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya.

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Syarif Hidayat berkuasa sejak tahun 1479 – 1568.

Dalam Pustaka Pakungwati Carbon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala – Demang Cirebon Girang atas perintah Sultan Muhammad Saifuddin (Matang Aji), dijelaskan tentang letak Pakungwati sebagai berikut : “Keraton ini didirikan di sebelah barat Kali Karyan. Dahulu disebut Kali Carbon yang dalam jaman hindu disebut Kali Subha. Sebelah hulunya disebut Kali Gangga dan disebelah hulunya lagi disebut Carbon Girang”.

Pembentukan Kerajaan Pakungwati direstui oleh Sri Baduga (ayahnya). Untuk keperluan ini Sri Baduga mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberik gelar Sri Mangana kepada Walangsungsang. Pada saat itu Ki Jagabaya diserta Jasangara, adik bungsu Walangsungsang.



Bahan Bacaan :
1. Penelusuran masa silam sejarah jawa barat
2. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar.



Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih