Selasa, 23 Maret 2010

Masa Islam

 
Penyebaran islam di Sumedang
Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya, atau kira kira tahun 1529 M agama islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran).

Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan Sunan Corenda, raja daerah Talaga, putra dari pasangan Ratu Simbar Kancana dan Kusumalaya (putra Dewa Niskala). Dari pernikahannya ini melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih.

Pada saat di nobatkan sebagai penguasa Sumedang, Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) dan Putri Sindangkasih (Majalengka).

Pernikahan
Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng Japura.

Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri).

Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.

Berdasarkan dari rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena sering kali kasaweur dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.

Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari Ki Gedeng Sindangkasih.

Kedua menurut riwayat Majalengka, Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya. karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah) menjadi penguasa di Sindangkasih.

Dari kisah tersebut memang ada sedikit ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih, melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap kekuasaan yang syah di Sindangkasih.

Dari peristiwa itu rpmssjb menarik kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri, dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.

Pangeran Santri
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.

Peristiwa diatas memiliki kemiripan dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.

Menurut rpmssjb, Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.

Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan “syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih merupakan “satelit’ Cirebon”.

Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi ‘tajug’ keraton Kutamaya.

Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum, maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran Santri dan Pucuk Umum, yakni (1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) ; (2) Kiyai Rangga Haji ; (3) Kiyai Demang Watang di Walakung ; (4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; (5) Santowaan Cikeruh ; (6) Santowaan Awiluar.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala pemerintahan, karena usi lanjut.

Patut diperhitungkan, ketika Pangeran Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang, apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang, atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.

Dalam hal ini ada dua versi. Pertama menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri. Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik 13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.

Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji 1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Menurut rpmsjb, sebagai pengganti penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun.

 
Bahan Bacaan :

  • Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).


  • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www. sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.


  • Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.


  • Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.


  • Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.



Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih