Kamis, 25 Februari 2010

Pengantar Cirebon

Membicarakan Cirebon adakalanya dilepaskan dari entitasnya dari sejarah Sunda – Galuh. Hal ini dapat dipahami ketika para penulis dan peminat sejarah Cirebon menganggap bahwa Cirebon memiliki identitas sebagai wilayah yang erat kaitannya dengan sejarah pengembangan agama Islam di Nusantara. Wajar ketika sejarah Cirebon menjadi tidak terkupas nepi ka huluwotanna atawa henteu nepi ka girangna, seperti eksistensi kerajaan lain pada masa pra Islam, demikian pula para tokohnya.

Para sejarawan Sunda sering mengaitkan adanya beberapa kerajaan di wilayah Cirebon pada masa Pra Islam, yakni Kerajaan Indraprahasta (telah ada sejak masa Tarumanagara dan di hancurkan pada masa Sanjaya/Sunda), Keraton Carbon Girang, Keraton Singapura, Keraton Japura dan Keadipatian Palimanan dibawah Pemerintahan Keraton Rajagaluh.

Didalam membahas Kerajaan Islam di Jawa Barat, Yoseph Iskandar menyinggung tentang eksistensi Cirebon Girang. Menurutnya : “Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda (1357 – 1371) sebagai pengganti sementara setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat, dari permaisuri memperoleh putera, diantaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang”. Jadi memang satu abad sebelum didirikannya Cirebon Hilir telah ada eksistensi dari Cirebon Girang.

Asal nama Cirebon
Cirebon awalnya sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Secara perlahan berkembang menjadi sebuah desa, untuk kemudian dinamai Caruban (Bahasa Sunda : campuran). Istilah Caruban diambil dari keragaman penduduk disana yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Selain itu, mereka pun memiliki adat, budaya dan mata pencaharian yang beragam. Mungkin untuk ukuran sekarang, kota Cirebon pada saat itu sudah menampakan pluralitasnya, hanya saja ramainya kota Caruban tidak dipungkiri akibat tumbuhnya perdagangan di wilayah tersebut.

Istilah Cirebon ada juga yang menganggap berasal dari kata Cai-rebon (bahasa Sunda) yang artinya air rebon. Kemudian rebon merupakan sebutan untuk udang kecil. Masuk akal juga ketika istilah ini terbentuk, karena pada saat itu banyak masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan (penangkap ikan).

Lajimnya suatu kota pelabuhan perdagangan yang banyak menampung komoditas pertanian dan perkebunan, Cirebon tumbuh menjadi kota besar. Cirebon kemudian tumbuh pula menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Bahkan tidak menjadi heran jika para penyebar agama islam banyak yang berprofesi sebagai saudagar.

Hari Lahir Cirebon
Layaknya sebuah wilayah biasanya ditelusuri sejarah terbentuknya, namun para sejarawan lokal hanya mengambil milesstone sejak Pangeran Cakrabuan menetap di Alang-alang atau Syarif Hidayattulah sejak menyatakan Cirebon Merdeka dari protektorat Pajajaran.

Kegamangan ini nampak jelas ketika menetapkan hari jadi Cirebon itu sendiri. Saat ini masih timbul perbedaan mendasar. Hari jadi Kota Cirebon mengacu pada tanggal I Muharam, yakni ketika Pangeran Cakra Buwana atau Walangsung atau Ki Samadullah, putra prabu Siliwangi untuk pertama kalinya membuka Dukuh Tegal Alang-Alang. Sedangkan Kabupaten Cirebon mengacu pada waktu Pemisahan Cirebon dari Pajajaran, yakni tanggal 12 Safar 887 H atau 2 April 1482 M, tentunya ketika itu terjadi pada masa Syarif Hidayatullah, Cucu Prabu Siliwangi dari putrinya, yakni Rarasantang. Untuk alasan ini para akhli sejarah beranggapan bahwa penting untuk melakukan penyelidikan sejarah Cirebon agar mendapatkan data yang obyektif.

Menurut Omi Busytoni (Posted on Juni 13, 2009 by chakrabuana) : “Khusus masalah sejarah Cirebon, Tim pemurnian Sejarah Cirebon dalam suratnya bernomor 01/TPSC/IX/2005 yang ditujukan pada para pimpinan daerah dan para tokoh Cirebon menyatakan bahwa sejarah Cirebon telah dimanipulasi oleh bangsa sendiri (Wong Cherbon), yang mengakibatkan terjadinya sejarah peteng (gelap). Anggota tim ini antara lain Ki Kuwu Abadi, Ketua Forum Komunikasi Kuwu Bersatu Kabupaten Cirebon, Ki Kartani sejarawan Cirebon, Drs. R. Udin Kaenudin, Msi yang menyatakan diri keturunan pendiri Cirebon (Pangeran Cakrabuana), Pangeran Makmur S.Sos, Sesepuh Martasinga Wargi Kasultanan Cirebon dan Ahmad Jazuli dari LSM Tunas Nusantara.”

Tentang kebenaran sejarah demikian, Omy menambahkan pula, bahwa : “Dari sumber literatur dalam negeri, disebutkan pada hari Jum’at kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka diperkirakan tahun 1445 Masehi, Pangeran Walangsungsang Putra Raja Pajajaran Sri Beduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi, mulai membuka hutan bersama 52 orang penduduk dipesisir utara Jawa. Tempat itu kemudian disebut dukuh Tegal Alang-alang yang makin lama menjadi ramai, sehingga karena adanya interaksi sosial yang tinggi, datanglah para pedagang dan orang-orang untuk menetap, bertani dan menjadi nelayan.”

Dukuh Tegal Alang-alang kemudian diberi nama Desa Caruban karena penduduknya dari berbagai suku bangsa, Caruban berarti campuran. Sumber-sumber Barat yang monumental seperti catatan Tome Pires (Portugis) menyebut Cirebon dengan Corobam, dalam catatannya Pires mengatakan Corobam adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar besar dan sentra perdagangan yang merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Sumber-sumber Belanda menyebutnya Charabaon (Rouffaer) Cheribon atau Tjerbon (Kern). Dan dari sumber lokal didapat penyebutan Sarumban, Carbon, Caruban, Cherbon bahkan Grage.

Masyarakat kemudian memilih Ki Danusela yang disebut Ki Gedeng Alang-alang selaku penguasa Tegal Alang-alang sebagai Kuwu Carbon I, sedangkan Pangeran Walangsungsang sebagai Pangraksa Bumi dengan gelar Ki Cakra Bumi. Pada tahun 1447 Ki Danusela meninggal dan Ki Cakra Bumi dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai Kuwu Carbon II dengan sebutan Pangeran Cakra Buwana. Sebelum membuka Dukuh Tegal Alang-alang Pangeran Walangsungsang dan para pengikutnya telah lebih dulu masuk Islam.

Mungkin Cirebon kadung dianggap sebagai daerah penyebaran agama Islam, maka kerajaan-kerajaan berikut para tokohnya di Cirebon pada masa pra Islam dianggap tidak begitu menarik. Tapi satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah, bahwa sejarah adalah sesuatu yang hidup, paling tidak dijamannya. Sejarah tidak dapat dihapus kecuali oleh kealpaan, ketidak tahuan, atau ada semacam pemutar balikan.

Ada baiknya jika menyimak Wasiat Wastu Kecana. Unina : Hana nguni hana mangke - Tan hana nguni tan hana mangke Aya ma baheula hanteu teu ayeuna - Henteu ma baheula henteu teu ayeuna - Hana tunggak hana watang - Hana ma tunggulna aya tu catangna. (ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada msa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada catangnya).



Bahan Bacaan :
1. Rintisan Penelusuran masa Silan Sejarah Jawa Barat
2. Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar. Geger Sunten
3. wikipedia.org : Kesultanan_Cirebon
4. Omi Busytoni : http://matahari199.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih