Rabu, 17 Maret 2010

Pengantar

Nama Sumedang
Didalam cerita rakyat dikenal adanya sejarah penamaan Sumedang. Konon kabar pada suatu ketika Prabu Tajimalela melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dari Sang Pencipta. Pada saat terbangun tiba-tiba mengucapkan kata : “Insun Medal Mandangan”, kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang.


Didalam masyarakat beredar pula cerita yang mengabarkan, bahwa ucapan Sang Tajimalela tersebut terdiri dari dua kata, yakni “Insun medal; Insun madangan” dalam bahasa Indonesia berarti Aku dilahirkanan (lahir) ; Aku menerangi. Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya). Selain itu kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, sekarang dikenal sebagai pohon Huru.


Dari sinilah kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.


Topografi
Sumedang saat ini merupakan daerah tingkat dua, terletak di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak pada posisi 107˚14’-108˚21’ Bujur Timur dan 60˚40’-70˚83’ Lintang Selatan. Berbatasan dengan Indramayu dan Subang di Sebelah Utara, Majalengka di Sebelah Timur dan Garut di Sebelah Tenggara serta Bandung di Sebelah Barat dan Selatan. Berjarak tempuh dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung kurang lebih 45 km dan berada diantara dua kota tujuan wisata Bandung – Cirebon.


Sumedang disebut-sebut oleh Bujangga Manik didalam catatan pengembaraannya, diperkirakan ditulis pada abad 15 akhir atau awal abad 16. Catatatan Bujangga Manik ini oleh J. Noorduyn dianggap sebagai data Topografis Pulau Jawa dari sumber Sunda Kuno, berbentuk puisi naratif Sunda Kuna–naskah daun. Saat ini tersimpan di Perpustakaan Bodlein, Oxford (AS), sejak 1627 atau 1629. Tokoh Bujangga Manik kemudian diketahui seorang pangeran dari Pakuan (Bogor) yang memilih menjadi rahib Sunda.
Dalam perjalanan Bujangga Manik mencatatkan :
Sadiri aing ti inya–datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi,-meu(n)tas aing di Citarum.–ku aing geus kaleu(m)pangan,-meu(n)tas di Cipunagara,-ngalalar ka Tompo Omas,-meu(n)tas aing di Cimanuk,-ngalalar ka Pada Beunghar. (sepergiku dari sana,-tiba ke wilayah Eronan.–Sesampai aku ke Cinangsi,-aku menyebrangi sungai Citarum.–semua itu telah kulalui,-menyebrang di sungai Cipunagara,-daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas,-aku menyebarang di sungai Cimanuk,-berjalan lewat pada Beunghar).
Ketika menanggapi catatan Bujangga Manik, buku “rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat menjelaskan, bahwa : didekat Gunung Tompo Omas terdapat kerajaan Medang Kahiyangan. Nama kerajaan ini tercatat dalam Carita Parahyangan sebagai salah satu sasaran yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa (Pen : pengganti Sri Baduga). Belum jelas apakah ada hubungan antara nama Medang Kahiyangan dengan Sumedang Larang.


Pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut catatan lain, Sumedang Larang sudah berpusat di Cipameungpeuk. Mungkin juga perjalanan Bujangga Manik melalui sebelah utara Gunung Tampomas, mengingat Sumedang Larang terletak disebelah selatan Tampomas. Sekalipun belum diketahui adanya titik persamaan antara Sumedang Larang dengan Medang Kahiyangan namun kedua catatan tersebut cukup jelas menggambarkan, bahwa di daerah Sumedang pada abad tersebut sudah ada semacam pemerintahan, sekalipun masih sangat sederhana.


Fase Ageman
Sumedang Larang dalam catatan sejarah mengalami dua fase keyakinan. Pertama fase Hindu (mungkin juga Sunda wiwitan), dimulai sejak ada Tembong Agung sampai dengan Galuh, protektor Sumedang Larang dikalahkan Cirebon di Talaga. Sekalipun demikian perlu juga diperhitungkan adanya perkembangan agama Budha, seperti pengaruh dari Talaga (pusat Budhisme) atau ketika Bujangga Manik melakukan pengembaraan. Konon kabar ia seorang rahib.


Kedua fase Islam, dimulai pada tahun 1529 M, mulai disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Sunan Panakaran, putra Maulana Abdurachman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Panakaran pada tahun 1504 M menikah dengan seorang putri dari Sindangkasih, kemudian melahirkan seorang putra, diberi nama Ki Gedeng Sumedang, dikenal dengan sebutan Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Setyasih yang bergeralr Pucuk Umum, pewaris syah dari tahta Sumedanglarang.


Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Resi Tajimalela, namun Sumedang Larang sebagai kelanjutan dari Tembong Agung – Himbar Buana yang dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih. Kisah tembong Agung dengan Sumedang Larang sama halnya dengan sejarah Galuh. Semula dirintis oleh Resi Guru Manikmaya di Kendan, pada jaman Wretikandayun kemudian dialihkan kesuatu daerah, untuk kemudian diberi nama Galuh (permata).


Ada yang menarik dari keberadaan kerajaan di tatar Sunda, pada umumnya didirikan oleh para pemuka agama, sama seperti pendiri Tarumanagara (Sang Maharesi-rajadirajaguru), Kendan (Sang Resiguru), Galuh (Wretikandayun), Indraprahasta (Resi Sentanu), Talaga (Pusat Budhisme), Cirebon (pusat Islam). Mungkin juga kesejarahan demikian menggambarkan ciri pokok dari masyarakat Sunda dahulu yang religius, sehingga tokoh agama merangkap pula dengan pemerintahan.


Ciri lainnya adalah, pada awal penyebaran agama dan masuknya pengaruh baru, nyaris tidak nampak adanya benturan. Mungkin yang lebih jelas ketika masa Sang Bunisora dan Wastukancana, bahkan putra Sang Bunisora, atau kakak sepupu Wastukancana dikenal sebagai haji pertama di daerah Galuh sehingga dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh. Demikian pula pada masa Sri Baduga. Sebagaimana kita ketahui penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat adalah Walangsungsang, putra Sri Baduga, bahkan salah satu istri Sri Baduga alumnus dari pesantren Quro.


Fase Kekuasaan
Mencermati fase kekuasaannya, di Sumedang Larang mengalami beberapa fase. Pertama, fase raja-raja Sumedang Larang dimulai dari Praburesi Tajimalela ada juga yang menyebutkan mulai dari Prabu Guru Aji Putih sampai dengan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M). Pada masa ini Sumedang Larang memiliki kekuasaan yang mandiri, sekalipun memang terseling sebagai kerajaan daerah, mengingat berada dibawah daulat Galuh. Sumedang Larang pernah didaulat sebagai pewaris syah tahta Pajajaran, mengingat ia memiliki kandage lante, perlengkapan pakaian raja-raja Pajajaran yang di persembahkan Jayaperkosa, senapati Pajajaran kepada Geusan Ulun.


Fase kedua, fase Bupati Wedana dibawah daulat Mataram. Fase ini dimulai sejak berkuasanya Rangga Gede alias Rangga Gempol 1 yang berkuasa pada tahun 1601 – 1625 M. Suatu hal yang masih perdebatan umum tentang siapa Rangga Gempol I, apakah ia anak syah dari Geusan Ulun atau anak tirinya, mengingat ada berita yang santer menyatakan, bahwa sebelum Harisbaya dinikahi Geusan Ulun ia telah hamil. Namun apapun isue nya, sejak masa ini Sumedanglarang berada dibawah daulat Mataram dan pernah dihadiahkan kepada Belanda pada masa Amangkurat II. Masa kekuasaan dibawah Mataram berlangsung hingga kekuasaan Rangga Gempol III (1656 – 1676 M).


Fase ketiga, fase Bupati Wedana dibawah daulat Belanda (VOC) kemudian terselang oleh Inggris dan kembali lagi dibawah Belanda dan Jepang. Dimulai pada masa Dalem Tumenggung Tanumaja (1706 – 1709 M). Fase lainnya terjadi pasca Indonesia menyatakan kemerdekaan.


Pada masa lalu dikenal pula adanya eksistensi Pangeran Kornel yang berani menentang Daendels ketika membangun Cadas Pangeran yang banyak memakan korban jiwa rakyat Sumedang. Kemudian ada pula kisah yang terjadi pada tahun 1888. Ketika itu Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh hujan” (sedia payung sebelum hujan).


Bahan Bacaan :
  1. Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
  2. Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010
  3. Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
  4. Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
  5. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.




Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih