Selasa, 29 September 2009

Pasca Sultan Haji

Pada masa Sultan Haji dan setelahnya Banten sangat tergantung kepada Belanda, bahkan menjadi jajahan Belanda. Alasan inilah kemudian dijadikan patokan bahwa sejak tahun 1684 Banten tidak lagi menjadi negara yang berdaulat penuh. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, bahkan bersama-sama Belanda berhasil menyingkir Sultan Ageung Tirtayasa, ayahnya dari kekuasaannya sebagai Sultan Banten yang syah, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.

Sultan Abdu’i Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690)
Ia pewaris takhta Sultan Haji yang memiliki sikap yang berbeda dengan ayahnya dan sangat menentang Belanda. Sultan Abdu’i berupaya juga menata kembali Banten karena hancur akibat kerusuhan dan pemberontakan.

Sultan Abdu’i Fadhl Muhammad Yahya tidak banyak terceritakan dalam sejarah Banten, kecuali sikapnya yang sangat membenci Belanda. Ia pun wafat pada tahun ketiga pemerintahannya dan dikebumikan di sebelah makam Maulana Hasanudin di Sedakinging.

Sayangnya ia tidak memiliki keturunannya yang dapat melanjutkan cita-citanya. Sebagai pengantinya kemudian tahta Banten diberikan kepada adiknya.

Sultan Abdul Mahasin Muhammad Zainul Abidin (1690-1733)
Adalah adik dari Sultan Abdu’i. Ia memiliki nama lainnya, yakni Kang Sinuhun Ing Nagari Banten. Penobatannya dilakukan dengan upacara yang sangat meriah. Dari Keraton Surosowan, Benteng Kompeni dan Kapal-kapal Belanda saling bersahutan buniy meriam.

Sultan pun tak lupa memberikan hadiah bagi para penghuni istana dan masyarakat, sekalipun dengan materi yang berbeda. Para punggawa dari berbagai daerah yang masih berada didalam kekuasaan Banten berdatangan menghaturkan sembah, seperti dari Lampung. Memang ada kesan bahwa Surosowan masih dianggap kesultanan. pusat kekuasaan dan upacara.

Sultan Abdulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747)
Pengganti Sultan Abdul Mahasin, putra keduanya. Namun tidak diceritakan, alasan apa sehingga tahta tersebut tidak diserahkan kepada putra tertuanya, sebagaimana lajimnya yang dilakukan raja-raja pada masa itu.

Di intern istana terjadi permasalahan, mengingat Sultan sangat dipengaruhi oleh permaisurinya (Ratu Syarifah Fatimah). Kemudian atas fitnah yang dilakukan istrinya tersebut Sultan kemudian ditangkap Belanda dan diasingkan ke Halmahera.

Sultan Syarifudin Ratu Wakil
Menantu Ratu Syarifah dari suami yang terdahulunya, seorang Letnan Melayu di Batavia. Ia diserahi jabatan Sultan Banten menggantikan Sultan Abdul Fathi yang dibuang ke Halmahera. Namun secara de facto kekuasaan Banten dikendalikan oleh Ratu Syarifah Fatimah. Karena dialah yang menentukan kesultanan Banten sejak jaman Sultan Abdulfathi dan Sultan Syarifudin.

Terhadap sikap Ratu Syarifah pada masa itu, pada umumnya rakyat banyak yang menentang dan melakukan pemberontakan. Tokoh pemberontakan yang paling terkenal saat itu dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang.

Untuk meredam pemberontakan rakyat, Berlanda terpaksa menyingkirkan Ratu Syarifah ke Saparua, sedangkan Sultan Syarifudin disingkirkan ke Banda.

Sultan Abdulma’ali Muhammad Muhammad Wasi Zainul Arifin
Sebelumnya bernama Pangeran Arya Adisantika. Sultan ini adalah adik kandung dari Sultan Abdulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin. Pemberian kekuasaan dilakukan oleh Belanda. Hal ini dapat pula menggambarkan bahwa pada waktu Belanda mampu menurunkan dan menaikan seorang Sultan Banten. Tentunya mengukuhkan pula anggapan bahwa pada waktu itu Belanda sudah menjadi penentu tertinggi di wilayah Banten.

Pengangkatan sultan disertai dengan beberapa perjanjian yang dianggap merugikan Kesultanan maupun rakyat Banten. Kemudian terjadi kembali pemberontakan rakyat, bahkan terjadi beberapa kekacauan diwilayah Banten.

Kekacauan yang terjadi di wilayah Banten mampu memaksa Belanda untuk menyetujui penyerahan kekuasaan Sultan kepada Pengeran Gusti, putra dari Sultan Zainul Arifin yang sebelumnya diasingkan ke Sailon.

Sultan Abdul Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin (1953-1973) atau Pengeran Gusti
Putra tertua dari Sultan Zainul Arifin yang sebelumnya diasingkan ke Sailon. Tidak banyak yang diceritakan tentang kondisi Banten ketika Pangeran Gusti berkuasa. Ia wafat dan digantikan oleh putranya.

Sultan Abdul Mufakir Muhammad Aliudin (1973-1799)
Putra dari Sultan Abdul Nasr. Pada masa pemerintahanya intrik dari intern keraton sudah mulai nampak, namun ia masih mampu mempertahankan tahtanya hingga ia wafat.

Sultan Abdul Muhammad Muhidin Zainussolihin (1799-1801)
Sebelum naik tahta bernama Pangeran Muhidin. Ia adik kandung dari Sultan Abdul Mufakir yang memperoleh tahtanya setelah kakaknya wafat.

Sekalipun Banten sudah berada diambang kehancuran, namun upacara penobatan yang memakan biaya tinggi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam peristiwa selanjutnya upacara penobatan Sultan semeriah itu tidak pernah lagi dilakukan, mungkinkan Banten sudah tidak lagi memiliki biaya dan Belanda tidak berniat menanggungnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhidin intrik dari dalam keraton sudah sangat memuncak. Intrik ini diciptakan oleh para kerabat sultan. Puncak dari kekacauan ini berakibat terbunuhnya Sultan Muhidin oleh Tubagus Ali, salah seorang pengawal istana.

Sultan Abdul Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Putra dari selir Sultan Aliudin. Ia menggantikan Sultan Abdul Muhidin sebagai Sultan Banten. Ia wafat pada tahun 1802, hanya satu tahun memegang kesultanan Banten.

Sultan Wakil Pengeran Natawijaya (1802-1803),
Menggantikan Sultan Abdul Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin. Ia hanya memerintah selama satu tahun dan wafat pada tahun 1803.

Sultan Aliyudin II (1803-1808)
Adalah putra kedua dari Sultan Aliyudin. Ia menggantikan Sultan Wakil Pangeran Natawijaya. Ia menjabat menduduki tahta kesultanan Banten selama lima tahun.

Sultan Aliyudin II berselisih paham dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda, yakni Herman Wiliam Daendels. Pada tahun 1808 Surosowan diserang Belanda. Sultan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Ambon.

Sultan Wakil Pangeran Suramangala (1808-1809)
Diangkat oleh Belanda untuk menggantikan Sultan Aliyudin II. Sekalipun jabatan Sultan Banten merupakan jabatan tertinggi di Banten namun ia tidak memiliki kekuasaan mutlak, mengingat kedaulatan Banten dianggap sudah tidak ada.

Menurut Untoro (2007 : 48) :  Kedaulatan Banten sebagai kesultanan Banten telah terhapus, bahkan sultan mendapat gaji sebesar 15.000 real setahun dari Belanda.. Sejak saat itu kesultanan Banten lenyap dari percaturan pusat pemerintahan yang mandiri dan selanjutnya dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda.

Kemudian pada masa pendudukan Inggris, wilayah Banten dimasukan menjadi keresidenan Banten. Sultan Muhammad Syaifudin dipaksa turun tahta dan menyerahkan wilayah Banten kepada Inggris. Walaupun gelar sultan masih boleh digunakan namun secara resmi kesultanan Banten dihapuskan dan kehidupan sultan diberi tunjangan oleh Inggris sebesar 10.000 ringgit Sepanyol setahun. Untuk selanjutnya Banten dipegang oleh Muhamad Rafiudin. Pada tahun 1832 ia diasingkan ke Surabaya.


Bahan Bacaan :
Kapitalisme Pribumi Awal – Bab II, Gambaran Masyarakat di Kesultanan Banten, Heriyanti Ongkodharma Untoro, FIB UI – Cetakan Pertama – 2007.





Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih