Selasa, 29 September 2009

Masa Akhir Kesultanan


Sejak ditandatanganinya perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda pada tanggal 17 april 1684 praktis kekuasaan Kesultanan Banten secara de facto dapat dianggap tidak lagi memiliki kedaulatan penuh. Pada tahun ini pula Kompeni Belanda sudah mulai turut campur dalam struktur pemerintahan Belanda, termasuk merestui untuk pengangkatan para Sultan.

Untoro (2007) dalam diskripsinya membagi masa kesultanan Banten menjadi dua bagian, yakni masa Maulana Hasanuddin sampai dengan masa pemerintahan Sultan Haji dan masa pemerintahan Sultan Haji sampai dengan masa-masa sultan sesudahnya.

Sebelum Sultan Haji diperkirakan Banten belum banyak dipengaruhi Belanda. Pada masa tersebut Banten masih berdiri secara mandiri bahkan mengalami masa kejayaannya. Sebagai negara Mahardika, Banten mampu menentukan nasibnya sendiri, termasuk membuka hubungan politik maupun hubungan dagang dengan siapa yang dikehendakinya.

Pada masa Sultan Haji dan setelahnya Banten sangat tergantung kepada Belanda, bahkan menjadi jajahan Belanda. Alasan inilah kemudian dijadikan patokan bahwa sejak tahun 1684 Banten tidak lagi menjadi negara yang berdaulat penuh. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, bahkan bersama-sama Belanda berhasil menyingkir Sultan Ageung Tirtayasa, ayahnya dari kekuasaannya sebagai Sultan Banten yang syah, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.

Perjanjian Banten pada masa Sultan Haji tentunya mengikat Banten maupun para sultan penggantinya. Disisi lain ketidak mandirian Banten berakibat lemahnya perekonomian negara maupun politis. Ada sementara pendapat yang juga mengatakan bahwa kondisi ini hanya memposisikan para sultan sebagai lambang dan tidak memiliki kekuasaan yang sebenarnya.

Sultan Abdu’i Fadhl Muhammad Yahya pewaris takhta Sultan Haji, memiliki sikap yang berbeda dengan ayahnya dan sangat menentang Belanda. Sultan Abdu’i berupaya juga menata kembali Banten karena hancur akibat kerusuhan dan pemberontakan. Ia pun wafat pada tahun ketiga pemerintahannya dan dikebumikan di sebelah makam Maulana Hasanudin di Sedakinging. Sayangnya ia tidak memiliki keturunannya yang dapat melanjutkan cita-citanya. Sebagai pengantinya kemudian tahta Banten diberikan kepada adiknya.

Sampai dengan tahun 1802, penobatan Sultan dilakukan dengan upacara yang sangat meriah. Dari Keraton Surosowan, Benteng Kompeni dan Kapal-kapal Belanda saling bersahutan buniy meriam. Sultan pun tak lupa memberikan hadiah bagi para penghuni istana dan masyarakat, sekalipun dengan materi yang berbeda. Para punggawa dari berbagai daerah yang masih berada didalam kekuasaan Banten berdatangan menghaturkan sembah, seperti dari Lampung. Memang ada kesan bahwa Surosowan masih dianggap kesultanan. pusat kekuasaan dan upacara.

Untoro (2007) berkesimpulan, bahwa : pengesahan jabatan penguasa Banten sangat diperlukan agar dunia luar terutama wilayah taklukannya secara langsung maupun tidak langsung mengakui kedaulatan Kesultanan Banten, yang divisualkan dalam wujud upacara penobatan. Pengakuan serupa itu diperlihatkan pula oleh Belanda, yang menembakan meriam dari pusat hunian mereka di benteng Speedwijk serta dari atas kapal-kapal perangnya. Secara politik, peristiwa tersebut menandakan adanya hubungan baik antara Banten dengan Belanda, yang sebelumnya kerap terjadi berbagai bentuk perselisihan.

Semasa pemerintahan Sultan Abdul Fathi terjadi beberapa kali pemberontakan. Hal ini akibat dari tindakan kesewenang wenangan Belanda, antara lain dengan menetapkan lain tanam paksa untuk komoditi tebu, kopi dan rempah-rempah. Demikian pula dibidang perdagangan, Belanda memiliki monopoli dan memaksakan rakyat agar menjual seluruh komoditinya kepada Belanda.

Kemudian Untoro menyitir pendapat dari catatan Heeken (1856), seorang petugas pencatat dari pihak Belanda tentang suasana pelantikan tersebut. Menjelang hari penobatan tiba, rombongan Belanda berangkat dari rumah komisaris denga iring-iringan, pasukan tombak dan panah dalam pakaian daerah, pemain musik yang memainkan lagu-lagu, 34 orang pasukan berkuda, diiringi oleh kereta yang ditarik 6 ekor kuda, yang sebelumnya didahului oleh pasukan berjalan kaki dan merupakan pelayan komisaris. Kereta selanjutnya diisi oleh pejabat militer dan para Saudagar Belanda yang merangkap pula sebagai panitia upacara. Tidak lama kemudian rombongan sultan yang didampingi oleh kepala pedagang bernama pinchette, beserta para pangeran datang naik kereta yang indah. Tidak lupa regalia berupa payung kerajaan menyertai rombongan ini, masuk ke benteng Speelwijk.

Komisaris, sebagai wakil Pimpinan Pemerintahan Tertinggi untuk kesultanan Banten menyatakan bahwa ia diperintah untuk mengatur upacara suksesi ini sebaik-baiknya. Ia mengingatkan dalam bahasa Melayu yang baik tentang pentingnya peranan Kompeni bagi Banten sehingga sultan dapat dilantik pada hari itu, sudah selayaknyalah jika kewajiban Banten terhadap Kompeni harus senantiasa diperhatikan. Melalui adat kebiasaan berupa persembahan dua dulang perak dengan dua botol air mawar, komisaris dan sultan saling memerciki air, yang diikuti oleh kaum kerabat lainnya. Malam hari upacara dilanjutkan di rumah komisaris dengan suasana jamuan meriah diselingi minum-minuman dan tembakan sebanyak 21 kali untuk menghormati Gubernur Jendral dan Dewan Hindia Belanda, 19 kali Komisaris dan Pengeran Ratu, 13 kali untuk Ratu Latifa, para utusan perwakilan kantor dagang di Banten, kebahagiaabn para Pangeran dan kesembuhan pangeran Aliudin. Puncak rencana keramaian ditutup oleh minuman secara bersulang demi persahabatan.

Dari data yang sama Untoro memperoleh informasi, bahwa : biaya penyelenggaraan tersebut sepenuhnya ditanggung oleh kesultanan, sehingga jelas disebut-sebut bahwa sebelum komisaris kembali ke Batavia, sultan menyerahkan uang sebesar 2000 uang Spanyol untuk dibagikan kepada pasukan yang terlibat dalam kegiatan itu. Sultan juga menyediakan seluruh bahan makanan dan buah-buahan untuk rombongan perutusan komisaris selama berada di Banten. Bahkan ketika komisaris akan kembali ke Batavia, sultan mengirimkan perbekalan 5 ekor sapi dan 2 ekor kerbau serta bahan pangan lain untuk orang pribumi yang ikut mengiringi rombongan komisaris.

Kisah diatas menggambarkan bahwa sekalipun Banten sudah berada diambang kehancuran, namun upacara penobatan yang memakan biaya tinggi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam peristiwa selanjutnya upacara penobatan Sultan semeriah itu tidak pernah lagi dilakukan, mungkinkan Banten sudah tidak lagi memiliki biaya dan Belanda tidak berniat menanggungnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhidin intrik dari dalam keraton sudah sangat memuncak. Intrik ini diciptakan oleh para kerabat sultan. Puncak dari kekacauan ini berakibat terbunuhnya Sultan Muhidin oleh Tubagus Ali, salah seorang pengawal istana.

Jika dilihat dari istilah “wakil” untuk beberapa sultan, seperti Sultan Natawijaya, nampaknya ia hanya semacam raja (Sultan) panyelang – bukan trah langsung atau pewaris tahta langsung dari Sultan yang terdahulu, sama dengan gelar yang disandang oleh Sultan Syarifudin Ratu Wakil, bukan pewaris langsung Sultan Banten dan hanya seorang menantu dari istri sultan. Mungkin disini hanya mengisi kekosongan jabatan dari trah sultan Banten yang sebenarnya.

Masa terakhir kesultanan Banten nampak pada jaman Sultan Aliyudin II. Ia berselisih paham dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda, yakni Herman Wiliam Daendels. Pada tahun 1808 Surosowan diserang Belanda. Sultan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Dan diagantikan oleh Sultan Wakil Pangeran Suramangala. Sekalipun jabatan Sultan Banten merupakan jabatan tertinggi di Banten namun ia tidak memiliki kekuasaan mutlak, mengingat kedaulatan Banten dianggap sudah tidak ada.

Menurut Untoro (2007 : 48) : Kedaulatan Banten sebagai kesultanan Banten telah terhapus, bahkan sultan mendapat gaji sebesar 15.000 real setahun dari Belanda.. Sejak saat itu kesultanan Banten lenyap dari percaturan pusat pemerintahan yang mandiri dan selanjutnya dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda.

Kondisi demikian mendatangkan rasa tidak puas pada sebagaian rakyat, sehingga gangguan terhadap Belanda makin sering terjadi diwilayah bekas Kesultanan Banten. Daendels mencurigai kerusuhan tersebut didalangi oleh sultan terakhir ini, sehingga bersama pasukannya ia menangkap danm memenjartakan sultan di Batavia serta keraton Surosowan dihancur luluhkan dengan cara dibumi hanguskan.

Keluarga keraton yang masih hidup menyingkir ke keraton Kaibon yang letaknya + 1 Km dari Surosowan dan bertahan hingga beberapa tahun. Kemudian pada masa pendudukan Inggris, wilayah Banten dimasukan menjadi keresidenan Banten. Sultan Muhammad Syaifudin dipaksa turun tahta dan menyerahkan wilayah Banten kepada Inggris. Walaupun gelar sultan masih boleh digunakan namun secara resmi kesultanan Banten dihapuskan dan kehidupan sultan diberi tunjangan oleh Inggris sebesar 10.000 ringgit Sepanyol setahun. Untuk selanjutnya Banten dipegang oleh Muhamad Rafiudin. Pada tahun 1832 ia diasingkan ke Surabaya.


Bahan Bacaan :
Kapitalisme Pribumi Awal – Bab II, Gambaran Masyarakat di Kesultanan Banten, Heriyanti Ongkodharma Untoro, FIB UI – Cetakan Pertama – 2007.

Tidak ada komentar:

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih