Minggu, 11 April 2010

Mitra Pasamayam

Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir mempunyai 2 orang putra, yakni Manasih dan Sobakancana. Manasih dinikahkan dengan Terusbawa, penerus Tarumanagara yang kemudian menjadi nama Sunda, sedangkan Sobakancana di nikahkan dengan Sri Jayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya. Hal ini menumbuhkan hubungan kekerabatan diantara raja Sunda dan Sriwijaya.

Pada tahun 500 M, pulau Sumatera dikuasai oleh dua kerajaan yang kuat, yakni Pali (sebelah utara) dan Melayu Sribuja (sebelah timur), beribu kota di Palembang. Sedangkan Sriwijaya saat itu terletak di Jambi dan baru berbentuk kerajaan kecil dibawah Kerajaan Melayu.

Dibawah daulat Sri Jayanasa, kerajaan Sriwijaya makin berkembang, bahkan dalam waktu lima tahun dapat menaklukan sebagian wilayah Melayu. Pada tahun 676 Sriwijaya berhasil menaklukan Pali dan Mahasin (sekarang Singapura). Kemudian menaklukan Semenanjung dan Ligor. Ia pun memusatkan pasukannya di Minangkabau. Pada tahun 683 M Sriwijaya berhasil menaklukan Melayu.

Ekspansi Sriwijaya ke ke Melayu tentunya sangat mengganggu hubungannya dengan Kalingga (Jawa Tengah). Karena penguasa Melayu masih memiliki kekerabatan dengan Kalingga, bahkan dianggap menggangu perasaan Maharani Sima, ratu Kalingga.

Sri Jayanasa mencoba mencairkan kebekuan hubungan ini dengan cara mengambil langkah-langkah di plomatik. Sri Jayanasa berupaya merajut benang silaturakhmi dengan Sunda dan Kalingga.

Sri Jayanasa dengan Terusbawa masih sesama menantu Linggawarman, raja Tarumana terakhir. Mereka menikah dengan putri-putri Linggawarman. Jalinan persaudaraan Sunda - Sriwijaya didudukan dalam suatu bentuk prasasti antara kedua negara, kemudian dikenal dengan istilah Mitra Pasamayan.

Mitra Pasamayan disetujui oleh kedua belah pihak pada tanggal 14 bagian terang bulan Maga tahun 607 Saka (sekitar 22 Januari 685 masehi), intinya untuk tidak saling menyerang, serta harus saling membantu. Menurut Pustaka Nusantara II/3, Maharaja Terusbawa mengabadikan perjanjian ini dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Melayu dan Sunda (Ibid. Jilid 3. hal 4).

Sri Jayanasa selanjutnya menawarkan persahabatan dengan Kalingga. Namun Dewi Sima menolak permintaan itu, karena sakit hati atas penaklukan kerajaan Malayu oleh Sriwijaya. Menurut rintisan penelusuran masa seilam sejarah Jawa Barat, ada Mahakawi yang mengisahkan, permusuhan antara Sriwijaya dengan Kalingga akibat dari penolakan pinangan Sri Jayanasa yang dilakukan oleh Maharani Sima.

Permusuhan makin menajam dan berujung pada persiapan Sriwijaya untuk menyerang Kalingga, bahkan telah mempersiapkan armada yang cukup besar. Demikian pula dari Kalingga, telah mempersiapkan diri dan dibantu oleh Cina dan negara-negara sahabat untuk menyerang balik Sriwijaya.

Ketegangan hubungan Sriwijaya – Kalingga dapat dilerai oleh Terusbawa. Ia bertindak sebagai sahabat dan kerabat. Terusbawa mengirimkan surat kepada Sri Jayanasa, yang isinya mengingatkan, bahwa :”Sunda tidak akan membantu penyerangan Sriwijaya ke Kalingga, mengingat dapat diangap kasus susila”. Terusbawa khawatir jika masalah ini dituduhkan oleh negara-negara lain, karena pinangan Sri Jayanasa di tolak oleh Maharani Sima.

Himbauan Terusbawa diterima Sri Jayanasa. Ia pun mengurungkan niatnya. Kapal-kapal Kalingga yang di tahan Sriwijaya kemudian diperbolehkan kembali. Tentunya setelah muatannya dirampas.

Dalam perkembangan selanjutnya, masih ada kapal-kapal Kalingga yang diganggu bajak laut. Disinyalir bajak laut tersebut direstui Sri Jayanasa.

Peran Sanjaya
Pasca meninggalnya Sri Jayanasa ketegangan Sri Wijaya dan Sunda menghangat kembali. Sri Wijaya menganggap bahwa ia masih keturunan Tarumanagara yang masih memiliki hak atas wilayah Tarumanagara, bahkan wilayah Selat Sunda – dan pelabuhan pelabuhan di Jawa Barat mulai diganggu para perompak yang direstui Sriwijaya. Adanya gangguan perompak menyebabkan Terusbawa memindah kan ibu kotanya ke pedalaman. Dalam proses selanjutnya Terusbawa memerintahkan Sanjaya, untuk menumpas bajak laut tersebut.

Menurut RPMSJB (1983-1984) : Terusbawa memerintahkan Sanjaya untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak dikemudian hari mampu menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda. Pada masa lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Pada masa Dewawarman V, ia harus gugur diperairan ketika melakukan pemberantasan bajak laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama ketika ia memerintah Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya.

Terusbawa memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar kenagara-negara lain yang melindungi para bajak laut.

Sanjaya adalah putra Mahkota Galuh, dari garis Bratasenawa (Sena) putra Mandiminyak. Ia menjadi penguasa Galuh pada tahun 723 M (645 s/d 647 Saka). Sanjaya juga sebagai pengganti Terusbawa karena perkawinannya dengan Tejakencana. Pada tahun 723 M Sanjaya bersama Tejakencana, istrinya di nobatkan sebagai raja Sunda, terhitung 647 s/d 654 Saka.

Sanjaya adalah Cucu Maharani Sima, ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa dengan Sanna, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis perkawinan Bratasenawa dan Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.

Disamping itu, atas persetujuan Parwati (ibunya), Sanjaya dijodohkan dengan Sudiwara, putri Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.

Pada tahun 728 M Sanjaya mengarahkan laskar gabungan dari ketiga negara tersebut untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda, bahkan mengejar para bajak laut sampai kesarang-sarangnya yang dilindungi negara lain. Iapun berhasil mengalahkan pasukan Indrawarman, penguasa Sriwijaya pada waktu itu. Sriwijaya bangkit kembali dan memperoleh kejayaannya ketika dipimpin oleh Wisnuwarman (730 – 775 M), putra Indrawarman.

Sunda pasca Sanjaya
Dalam kisah selanjutnya Sunda harus mampu menyesuaikan dari kondisi pertentangan Sriwijaya dengan wilayah kerajaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada umumnya penguasa-penguasa Sunda lebih memilih menjadi penengah atau bersikap netral. Hal ini bukan hanya ada kekerabatan diantara penguasa kerajaan lainnya, melainkan Sunda tidak memiliki armada laut yang kuat, sebagaimana yang dimiliki Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.

Hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaann-kerajaan di Jawa timur terjadi pada masa selanjutnya mengalami ketegangan, seperti pada masa kerajaan Mamenang, Kadiri, Singasari ataupun Majapahit. Pada umumnya berselisih tentang kekuasanya diperairan Nusantara. Apalagi pasca bangkitnya kerajaan Melayu yang selalu dilindungi raja-raja dari Jawa Timur ketika mendapat tekanan Sriwijaya. Yang terakhir ketika Sunda pada masa Prabu Darmasiksa, ia bertindak sebagai tuan rumah dalam penyelesaian perundingan Sriwijaya dengan Kediri yang diprakarasi Cina.

Sumber bacaan :
·         Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

·        Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung - 2005

·         Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.

·         wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih