Senin, 15 Maret 2010

Perpecahan Keraton


Ada beberapa kali peristiwa terpecahnya kekuasaan di Cirebon, bahkan pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII.

Bagi para pemerhati sejarah Cirebon pra Kemerdekaan, paling tidak mencatat ada dua kali. Pertama, ketika wafatnya Panembahan Girilaya. Kedua, masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan yang didukung oleh Belanda.

Kasepuhan – Kanoman (1677 M)
Pembagian kekuasaan di Cirebon terjadi bukan karena adanya perselisihan diantara para pewaris Cirebon, melainkan memang ada peristiwa yang unik sehingga merekapun mau berbagi dengan saudara-saudara lainnya.

Telah diuraikan terdahulu, Pangeran Adining Kusumah menjadi penguasa Cirebon selama 12 tahun, kemudian setelah wafat ia bergelar Pangeran Panembahan Girilaya. Selama menjabat sebagai penguasa Cirebon ia lebih banyak berkedudukan di Mataram, karena ia menikah dengan putri Amangkurat I. Demikian pula kedua putranya, yakni Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya bersama ayahnya di Mataram, sedangkan pemerintahan di Cirebon lebih banyak dijalankan oleh putra ketiganya, yakni Pangeran Wangsakerta.

Patut pula dipertanyakan, alasan Amangkurat I tidak memberikan ijin kepada kedua putra Girilaya untuk meninggalkan Mataram dan meneruskan tahta ayahnya di Cirebon.

Pada masa itu perseteruan antara Amangkurat I (Mataram) dengan Trunojoyo, putra Pangeran Cakraningrat, Adipati Madura berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Tentara Trunojoyo bergabung dengan tentara Makasar yang dipimpin oleh Kraeng Galesung dan Monte Morano. Telah beberapa kali pertempuran Mataram mengalami kekalahan. Kemudian pasukan gabungan Madura dan Makasar tersebut berhasil merebut Karta ibu kota Mataram. Amangkurat I bersama Adipati Anom, putranya melarikan diri ke Tegalwangi. Ia pun wafat disana, sehingga diberi gelar Sunan Tegalwangi. Sedangkan Adipati Anom menggantikan posisinya dengan gelar Amangkurat II.

Dalam pada waktu itu Panembahan Girilaya telah wafat setahun sebelumnya. Namun ada beberapa perbedaan pendapat tentang posisi Pangeran Mertawijaya dan Pangeran Kertawijaya.

Menurut Saleh Danasasmita :”Ketika ibu kota Mataram direbut oleh tentara Madura dan Makasar, Panembahan Sepuh Syamsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom Badridin Kertawijaya berada disana. Juga Ratu Blitar beserta beberapa orang kaulanya tertangkap oleh Trunajaya dan dibawa ke Kediri. Disana mereka diperlakukan secara terhormat”.

Posisi keduanya menurut Sulendraningrat, sebagai berikut : “..... setahun setelah Panembahan Girilaya wafat atau setahun sebelum terjadi pembakaran keraton Plered oleh Trunojoyo, kedua putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya, sudah meninggalkan keraton Mataram, tetapi tidak pulang ke Pakungdyan (Pakungwati), melainkan berkelana mencari pengalaman. Pada akhirnya keduanya disandera oleh Trunojoyo : Mertowijoyo di tahan di Kediri dan Kertawijaya di tahan di Madura – Keraton Maduretno”.

Namun kedua pendapat ini memiliki kesepakatan bahwa memang peristiwa ini terjadi kekosongan kekuasaan di Cirebon. Untuk kepentingan inilah Pangeran Wangsakerta ditugasi oleh Kerabata Keraton Cirebon nyungsi para para pangeran.

Pangeran Wangsakerta meminta bantuan Sultan Ageung Tirtayasa (Banten) yang memang masih kerabatnya. Selain diketahui pula bahwa Banten membantu pasukan Trunojoyo dalam melakukan penyerangan ke Mataram. Untuk keperluan ini pula Sultan Ageung Tirtayasa membantu Trunojoyo dengan perlengkapan amunisi perang. Kemudian kedua pangeran tersebut datang ke Cirebon dalam waktu yang berselisih dua tahun.

Pada saat terjadi kekosongan kekuasaan, Sultan Ageung menobatkan Pangeran Wangsakerta untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan agar tidak terjadi kekacauan di Cirebon, karena Panembahan Girilaya masih memiliki anak dari istri-istri lainnya sehingga dikhawatrikan terjadi perebutan kekuasaan. Putra-putra Panembahan Girilaya lainnya seperti Panembahan Ketimang dan Panembahan Giyanti, serta Bagus Jaka yang lainnya dari selir-selirnya. Selain hal tersebut, Sultan Ageung juga mengharapkan agar Cirebon membantu Banten untuk memusuhi Belanda. Memang Pangeran Wangsakerta telah membuktikan kemampuannya, ketika harus menggantikan posisi ayahnya di Cirebon, ia mampu menjaga kedaulatan Cirebon, termasuk dari gangguan Mataram, sehingga ia pun bergelar Paembahan Tohpati.

Setelah tibanya Pangeran Mertawijaya di Cirebon penobatannya dapat dilaksanakan. Namun untuk menghindari perpecahan keluarga, karena pendapat kerabat terpecah untuk mendukung ketiga putra Panembahan Girilaya ini, maka ketiganya dinobatkan di Banten dan secara seremonial dilakukan di Pakungwati.

Adapun pembagian kekuasaan dimaksud, sebagai berikut : (1) Pengeran Mertawijaya (1677-1703 M) dinobatkan menjadi Sultan Sepuh dengan gelar Abil Makarini Syamsuddin Sultan Sepuh (Kasepuhan) ; (2) Pangeran Kertawijaya (1677-1723 M) dinobatkan menjadi Sultan Anom dengan gelar Abil Makarini Badridin Sultan Anom (Kanoman) ; (3) Pangeran Wangsakerta (1677-1723 M) dinobatkan menjadi Panembahan Cirebon dengan gelar Mohammad Abdulkamil Nazaruddin. Ia pun terkenal dengan Julukan Panembahan Tohpati.

Eksistensi dari Sultan Sepuh dan Kanoman sampai saat ini masih ada dan dilanjutkan oleh keterunannya, namun sayangnya eksistensi Panembahan Cirebon hanya berhenti pada putranya, yakni Panembahan Tohpralaya. Untuk selanjutnya diserahkan kepada saudara seayah, yakni Panembahan Giyanti dan Panembahan Ketimang.

Kesultanan Kacirebonan (1807)
Jika mencermati proses perkembangan Cirebon memang tidak sebagaimana yang nampak dipermukaan, namun ada kaitannya dengan kondisi politik global, terutama pengaruh VOC dan kesultanan lainnya yang memiliki hubungan dengan Cirebon.

Didalam Buku Bupati Di Priangan – Seri Sundalana 3, dijelaskan bahwa : Setelah Sultan Agung meninggal (1645), Mataram berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut yang terjadi didalam Kerajaan dan serangan dari luar. Kompeni campur tangan, akibatnya seluruh wilayah kerajaan Mataram jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni pada tahun 1577. Penguasa Mataram meminta Kompeni membantu mengatasi konflik diantara putra-putra Sunan Amangkurat I serta gangguan orang-orang Madura dan Makasar di Jawa Timur dan Pantai Utara Pulau Jawa. Wilayah Priangan jatuh ketangan Kompeni dalam dua tahap akibat perjanjian Mataram – Kompeni pada tahun 1677 dan 1705. Pada tahap pertama (1677) kompeni memperoleh wilayah Priangan Barat dan Tengah. Pada Tahap kedua (1705) Kompeni menguasai Priangan Timur dan Cirebon.

Pada mulanya Mataram menyerahkan daerah Priangan kepada Kompeni hanya sebagai pinjaman. Oleh karena Mataram bertambah lemah, maka penguasa kerajaan itu makin sering meminta bantuan Kompeni. Akibatnya, kompeni berkuasa penuh atas wilayah Mataram termasuk Priangan.

Untuk menyadari bahwa para Bupati di Priangan memiliki kewibawaan atas rakyatnya, sehingga jika ia mengangkat salah satu sebagai pengawas Bupati lainnya dikhawatirkan menimbukan konflik. Untuk keperluan inilah Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon menjadi Bupati Kompeni, dengan besluit tanggal 19 Februari 1706. Bertugas untuk mengawasi dan mengkordinasikan bupati-bupati di Priangan agar melaksanakan kewajibannya kepada Kompeni Belanda.

Hubungan antara kerabat Cirebon dengan Belanda tentunya bukan hal yang pertama kali, namun menurut Catatan lainnya pernah pula para penguasa Cirebon, yakni para penerus Panembahan Girilaya dan Jaksa Pepitu menandatangani perjanjian mimitran (1681 M). Mungkin hubungan ini baik langsung atau tidak langsung mengundang ikut campur Belanda dalam urusan intern keraton Cirebon.

Jika mengambil dari catatan lain : sampai pada masa Sultan Anom IV (1798-1803) suksesi di Cirebon berjalan lancar, namun pasca itu terjadi perpecahan, karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Keinginan Pangeran Raja Kanoman didukung oleh Belanda, serbagaimana dengan keluarnya surat keputusan Gubernur-Jendral Hindia Belanda pada tahun 1807, yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Namun para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Pasca peristiwa tersebut, Belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga lambat laun peranan keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin tidak jelas. Hal ini terjadi pula pada tahun-tahun 1906 dan 1926, Belanda secara resmi menghapuskan kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon. Belanda juga mensahkan Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Terahir
Dari rundayan cerita tentang Cirebon mungkin kita sebagai bangsa dapat mengambil hikmah, bahwa ketergantungan terhadap pihak luar tidak akan dapat berbuah baik, apalagi ketika kehilangan jati diri dan manut menjadi pecundang dibawah ketiak dan duli orang lain. Mudah mudahan kedepan bangsa ini memiliki kembali jati diri, sehingga ia mampu mempertahan eksistensinya. (Cag).



Bahan Bacaan :

Tokoh Pangeran Wangsakerta menurut Tradisi Keraton, Pangeran Sulendraningrat. Dalam buku : Polemik Buku Wangsakerta, Edi S Ekajati, Pustaka Jaya – 2005

Pangeran Wangsakerta sebagai Sejarawan Abad Ke-17, Saleh Danasasmita, Dalam buku : Polemik Buku Wangsakerta, Edi S Ekajati, Pustaka Jaya – 2005.

Bupati Di Priangan – Seri Sundalana 3, Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004

http:/id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon, 10 Maret 2010

Penelusuran masa silam sejarah jawa barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat – Tjetjep Permana, SH dkk 1983 – 1984.
6 Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar. Geger Sunten – Bandung 2005





Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih