Kamis, 11 September 2008

Perjanjian Galuh




Cita-cita raja yang mulia adalah memerintah negara dengan adil dan bijaksana sehingga dapat mencapai keadilan dan kemakmuran negara dam rakyatnya. Sebelum pergi bertapa, harus dapat mempersiapkan generasi penggantinya dan menyelesaikan semua permasalahan kenegaraan. Mungkin inilah yang diinginkan Sena, ayah dari Sanjaya.

Sanjaya sebelum memenuhi panggilan Sena untuk menggantikannya sebagai raja di Medang, berinisiatif untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh, dihadiri oleh anggota kerabat kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling berkuasa di Pulau Jawa, sebab Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya, sedangkan Demunawan yang memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya.

Menurut Carita Parahyangan, keinginan Sanjaya tersebut untuk menjalin silaturahmi, dia mengingkan dan ia pun berjanji untuk tidak lagi memerangi saudaranya dari Galuh. Penulis Carita Parahyangan mengutip, sebagai berikut:
Carek Rahiang Sanjaya: "Na naon nu jadi karempan teh ? Ayeuna aing hayang runtut raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Musyawarah Galuh
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan, bahwa hasil musyawarah Galuh adalah ketetapan yang disampaikan oleh Sanjaya, termasuk batas wilayah yang harus ditaati bersama. Kisah tersebut, sebagai berikut :
Dah Rahiyang Sanjaya: "Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : "Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda."
Ujar Sanjaya : apa yang menjadi kekhawatiran ? Aku sekarang ingin hidup bahagia, aku dengan orang tuaku, Rahiangta Kuku, Sang Seuweukarma. Sekarang aku tidak akan lancang. Sekarang kita tetapkan : tanah bagian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang Isora di sebelah Timur ; jauhnya sampai sebelah Utara Progo dan Cilotiran, dari sebelah barat Citarum, kearah barat bagian keluarga kerajaan Sunda”
Menurut para penulis RPMSJB musyawarah di Galuh terjadi pada tahun 731 M, dan menetapkan :
daerah sebelah barat Citarum sampai keujung kulon menjadi hak waris keturunan Tarusbawa ; (2) daerah sebelah timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua antara Tamperan yang menguasai bagian selatan dan Demunawan yang menguasai bagian utara, termasuk bekas Galunggung dan Saung Galah ; (3) bagian tengah akan tetap diperintah oleh Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh – Kalingga ; (4) daerah sebelah timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan keturunan dari keluarga Kalingga. (Jilid 2, Bag. 4 hal. 72).
Semula Galuh diserahkan kepada Premana, namun Premana lebih memilih untuk menjadi pertapa. Kemudian Premana terbunuh di pertapannya. Pemerintahan di Galuh kemudian dijalankan oleh Tamperan.

Epos Ciung Wanara
Tamperan atau Barmawijaya didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan menduduki takhta Galuh sejak tahun 732 – 739 dan berkdedudukan di Purasaba Sunda, menggantikan posisi Sanjaya. Peristiwa ini terjadi setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram. Kemudian wilayah Sunda dan Galuh dijadikan satu di bawah pemerintahan Tamperan.

Kisah pembunuhan Premana Dikusumah didalam versi lain terjadi akibat persekongkolan yang dilakukan Tamperan. Hal ini sangat terkait dengan kisah asmara anatara Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, istri Premana Dikusumah. Dari hubungan ini melahirkan Banga.

Kisah Balangantrang dan Ciung Wanara diriwayatkan, setelah suruhan Tamperan berhasil membunuh Permana Di Kusumah iapun membunuh suruhannya itu. Premana Dikusumah didalam carita pantun disebut Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajalajala, sedangkan nama pertapaanya di mungkin terletak di Gunung Padang. Berdasarkan Naskah Carita Parahyangan wilayah pertapaan itu terletak di ‘pamana Sunda’ (perbatasan sunda).

Kisah pembunuhan Premana Dikusumah ditulis didalam Nusantara III/1 h. 70 :
Sang Prabhuresi Sajalajal cakti, yatiku swami ning Dewi Pangrenyep i sedeng iratapa haneng tapowana i bang wetan ing Tarumanadi ikang sapinasuk Ghaluh pradeca bang kulwan [Sang Praburesi Sajala-jala Sakti yaitu suami Pangrenyep sedang bertapa di hutan pertapaan sebelah Citarum yang termasuk Galuh bagian barat]. [RPMSJB, buku kedua, hal.73].
Kisah ini diuraikan pula didalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. / Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga. (Atja, 1968).
(Diperbatasan Sunda ada pendeta Sakti, dibunuh tanpa dosa, namanya Bagawal Sajalajala / Roh pendeta itu menitis, menjadi Sang Manarah. Anaknya Rahiang Tamperan berdua dan saudaranya Rahiang Banga].

Dari carita Parahyangan memang ada perbedaan status Manarah dengan alur yang dikisahkan versi RPMSJB. Manarah disebutkan putra dari Permana Dikusumah, sedangkan Banga memang anak Tamperan.

Setelah terbunuhnya Premana Dikusumah, kemudian Tamperan menikahi sekaligus kedua istri Premana, yakni Pangranyep dan Naganingrum.

Tamperan didalam memperlakukan Manarah, putra Premana dari Naganingrum seperti anaknya sendiri. Peristiwa ini akhirnya banyak ditafsirkan, bahwa  Manarah dan Banga adalah kakak beradik dari satu ayah. Bahkan dalam cerita rakyat nama ayah keduanya disebut-sebut Prabu Brama Wijayakusumah, hampir sama dengan nama Tamperan Barmawijaya.

Skandal Tamperan sebelumnya menjadi rahasia yang sangat tertutup rapat pada akhirnya tercium luas di lingkungan Galuh, terdengar pula oleh Bimaraksa, di Geger Sunten, mantan mahapatih Galuh pada jaman Purbasora, pada waktu itu sedang aktif menghimpun kekuatan dengan nama samaran Balangantrang.

Didalam mempersiapkan perlawanannya Balangantrang mendapat dukungan dari raja-raja sekitar Galuh taklukan Sanjaya namun memihak Demunawan. Tugas ini tidak begitu sulit dilakukan, karena ia dikenal sebagai senapati dan Patih Galuh yang tangguh, serta masih terhitung cucu dari Wretikandayun. Kondisi yang menunjang, disebabkan ada kesetiaan pengikut Sempakwaja, ayah dari Purbasora yang teguh tidak mau diatur raja Sunda.

Kekuatan Sempakwaja semula hanya nampak dari Saunggalah, melebar kebatas wilayah lainnya disekitar Galuh, untuk kemudian berubah wujud menjadi kerajaan Galunggung dibawah pemimpin Demunawan, putra Sempakwaja. Konon pada masa itu kerajaan Galunggung bersifat ‘kabataraan’ atau semacam kerajaan agama.

Untuk mematangkan soliditas perlawanan, Balangantrang merasa perlu menarik Manarah kepihaknya. Memang agak sulit, karena Tamperan mengakui dan memperlakukan Manarah sebagai anaknya sendiri, berakibat Manarah agak sulit didekati. Bagi gerakan Balangantrang, Manarah adalah simbol perlawanan Galuh, karena ia anak Permana Dikusumah yang dibunuh Tamperan. Pada akhirnya Manarah dapat diyakinkan, hingga sering secara diam-diam menemui kakeknya di Geger Sunten.

Penyerbuan Manarah dan pasukan Balangantrang untuk menguasai Galuh diatur dengan seksama. Bagi mereka masalah penguasaan teritorial kota Galuh tidak sulit dilakukan, mengingat kesehariannya Ia hidup dilingkungan Galuh. Balangantrang merencanakan untuk melakukan penyerbuan pada siang hari, dengan cara langsung menguasai istana, sedangkan Manarah melakukannya ditempat sabung ayam, ia akan terlibat sebagai peserta sabung ayam.

Acara sabung ayam pada masa itu dianggap acara resmi dan diijinkan oleh negara, biasanya pada acara itu di hadiri para pembesar istana, termasuk Tamperan. Sehingga dengan taktik ini Balangantrang akan sangat mudah menguasai istana. Namun dalam sejarah lisan, masyarakat Galuh lebih banyak menceritakan kisah yang terjadi di tempat sabung ayam, ketimbang penguasaan keraton oleh pasukan Balangantrang.

Upaya merebut tahta Galuh itu dilakukan pada tahun 723, dan berhasil dengan gemilang. Jika Sanjaya dahulu merebut tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pada malam hari, sebaliknya Manarah dengan Balangantrang melakukannya pada siang hari.

Persitiwa ini diceritakan didalam Carita Parahyangan, cuplikannya sebagai berikut :
Sang manarah males pati. / Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, / ku Sang Manarah. / Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh. / Rahiang Banga datang bari ceurik, / sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, / tuluy gelut jeung Rahiang Banga. / Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah. / Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, / mangrupa persembahan. Nurutkeun carita Jawa, / Rahiang Tamperan / lilana ngadeg raja tujuh taun, / lantaran polahna resep / ngarusak nu tapa, / mana teu lana nyekel kakawasaanana oge. / Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh  / taun, lantaran tabeatna hade.
Tamperan wafat pada tahun 739 M. Posisinya di Galuh digantikan Manarah, sedangkan Banga, anak Tamperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu Sunda sudah berada dibawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan maksud dari buku sejarah Jawa Barat, kerajaan Sunda pernah berada dibawah kontrol Galuh terhitung sejak adanya perjanjian Galuh, yakni tahun 739 M sampai dengan 759 M.

Manarah – Surotama
Manarah menjadi penguasa Galuh sejak tahun 739 – 783 M, bergelar Prabu Jayaperkosa Mandelaswara Salakabuana. Gelar ini diperoleh dalam Musayawarah di Galuh. Sedangkan Banga menjadi raja dibawah kerajaan Galuh, sama dengan posisi Premana terhadap Sanjaya.

Manarah menikah dengan Kencana Wangi. Dari pernikahannya memperoleh putri, antara lain Puspasari. Tokon Puspasari diduga adalah Purbasari yang dikisahkan dalam cerita Lutung Kasarung. Sedang tokoh Lutung Kasarung adalah Manisri, suami Puspasari. Dalam kisah tersebut Manisri bernama Guru Minda. Dikarenakan Manisri tidak diketahui muasalnya, maka ia di sebutkan sebagai putra Sunan Ambu. Manisri kemudian mewarisi tahta manarah, dengan Gelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara, berkuasa pada tahun 783 – 199 M.

Pada masa Manarah banyak meninggalkan kisah dan legenda, seperti cerita Ciung Wanara dan Ki Balangantrang. Cerita dan Kisah ini sering dijadikan sumber rujukan oleh para petutur lisan, seperti untuk mengetahui batas etnis dan acuan tentang budi pekerti.

Perjanjian Galuh
Sanjaya di Keraton Medang Bumi Mataram mendengar berita kematian Tamperan, anaknya, iapun bergegas membawa pasukan besarnya menuju Galuh. Berita ini diketahui oleh para telik sandi Galuh, kemudian melaporkan kepada Manarah. Oleh  karena itu Manarah mempersiapkan pasukan Galuh untuk menyambut Sanjaya di luar kota Galuh.

Mereka pun saling berhadap-hadapan siap bitotama. Diduga, jika saja pertempuran (Gotrayudha) sesama keturunan Wretikandayun itu terjadi, diniscayakan seluruh keturunan Wretikandayun tak akan ada sisanya.

Dalam kepanikan itu muncul Resiguru Demunawan diiringi para resi lainnya dari Saung Galah. Ia langsung menuju palagan Galuh, menghampir kedua belah pihak. Resi Demuwan dengan wibawanya yang kuat ia menghentikan pertempuran itu. Kemudian ia meyakinkan tentang akan hancurnya keturunan Wretikandayun jika perang ini tidak dihentikan. Ia pun menjelaskan, bahwa :
Galuh dibangun para leluhur untuk kesejahtraan anak cucunya, bukan untuk dihancurkan kembali, Alangkah sakit hatinya roh leluhur jika menyaksikan pertumpahan darah ini. Hentikan peperangan ini, mari kita berunding di Galuh, ditempat nenek moyangnya dahulu melakukan perundingan.
Ajakan yang sangat menyejukan ini disambut gembira oleh para pihak yang bersetru. Pada akhirnya mereka membuat perjanjian, intinya antara sebagaimana yang ditulis dalam Nusantara III/1, dijelaskan, sebagai berikut :
Menyudahi permusuhan (mawusana panyatrawanan) diantara yang sedang berperang
Mengadakan perjanjian  persahabatan (mitrasamaya), beker jasama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparo pakara) diantara mereka
Tidak boleh mengadakan pembalasan (paribhaksa) terhadap sesamanya karena mereka itu masih satu keturunan (tunggal kawitan)
Semua prajurit yang tertawan harus dibebaskan
Bila timbul perselisihan di antara mereka harus diselesaikan diantara mereka harus diselesaikan (telas aken) dengan damai (apakenak) dan bermusyawarah (mapulungrahi) dengan semangat persaudaraan (kaharep paduluran)
Hubungan kekerabatan tidak boleh putus dan harus saling mengasihi
Tidak boleh saling menyerang dan merebut kota-kota (para pura) masing-masing
Menghormati hak ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu), yaitu : (1) Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum kebarat dirajai oleh sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya ; (2) Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Sang Suratoma alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabuan ; (3) Resi Guru Demunawan menguasai negeri Saung Galah dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung (4) Sanjaya memerintah di Jawa Tengah. (RPMSJB, Jilid Kedua, hal. 79)
Untuk mengukuhkan persaudaraan diatas kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya yakni Kencana Wangi dengan Manarah, sedangkan Kencana Sari dinikahkan dengan Banga. Dari pernikahan ini maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah. Dengan demikian maka dikemudian hari keturunan Wretikandayun bersatu kembali. Kelak perbedaan keturunan ini terhapuskan akibat perkawinan antara keturunan Manarah dan Banga. Hal ini terjadi pada masa Rakean Wuwus.

Sunda Melepaskan Diri
Banga menggantikan Tamperan sebagai Raja Sunda keempat sejak tahun 739 M sampai dengan 766 M. Namun ada juga pendapat bahwa Banga raja Kerajaan Sunda yang ketiga karena Tamperan sebenarnya tidak pernah berdomisili di Sunda, ia hanya menjabat sebagai Duta Patih Sunda di Galuh.

Akibat Perjajian Galuh terpaksa kedudukan Banga harus berada dibawah Galuh. Perjanjian ini dirasakan Banga sangat merugikan posisinya. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora. Sanjaya sebagai kakeknya Banga tentu merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut. Kemudian ia secara diam-diam menganjurkan Banga untuk memperkuat kerajaan Sunda.

Banga melaksanakan ide kakeknya, setahap demi setahap ia menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, hingga iapun menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Mahardika.

Tindakan Banga menyulut kemarahan Manarah. Sekali lagi Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai Negara yang merdeka.

Peristiwa ini menempatkan Resi Demunawan sebagai orang yang bijaksana dan memiliki visi yang baik. Resi Demunawan pada Perjanjian Galuh menempatkan Sunda di bawah Galuh. Hal tersebut merupakan upaya maksimal pada saat itu. Setelah keadaan memungkinkan ia memenuhi janjinya untuk mensejajarkan Sunda dengan Galuh sehingga dapat tercipta kerukunan yang abadi.

Bangga meninggal pada tahun 766 M, berumur masih relatif masih muda, yakni 42 tahun. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, ia dilahirkan pada tahun 724 M, sehingga ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. (***)

Sumber bacaan :
·       Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·        Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung - 2005
·        Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
·        wikipedia.org / wiki/ Kerajaan Galuh

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih