Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca. Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan berkata : "Ngan engke bakal ngadeg deui" [Suatu saat akan berdiri kembali).
· Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
· Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung - 1966.
· Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, - 1983.
· Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
· Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
· Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.