Minggu, 14 Maret 2010

Psca Syarif Hidayat

Pasca wafatnya Syarif Hidayatullah (1568 M) terjadil kekosongan jabatan pimpinan. Sebelumnya, putra Syarif Hidayat, yakni Pangeran Pasarean dibunuh oleh Arya Panangsang dalam huru hara Demak (1546 M), sedangkan Arya Penangsang berhasil dibunuh oleh Adiwijaya (Pajang). Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565 M.

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan, menantu Syarif Hidayat yang menikahi Nyi Mas Ratu Ayu. Fadillah Khan kemudian naik takhta dan memerintah Cirebon secara resmi pada tahun 1568 – 1570 M. Fadillah Khan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain, takhta kesultanan jatuh kepada cucunya, atau cicit dari Syarif Hidayat, Pangeran Emas putra tertua Pangeran Suwarga hasil pernikahannya Fatahillah dengan Nyi Mas Ratu Ayu (putri Syarif Hidayat). Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570 – 1649).

Panembahan Ratu 1 wafat pada tahun 1649 kemudian diteruskan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II yang berkuasa pada tahun 1649 – 1677 M.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Padahal Banten memiliki hubungan kekerabatan dari Syarif Hidayat. Cikal bakal pendiri kesultanan Banten, yakni Panembahan Hasanudin adalah putra dari Syarif Hidayat.

Pada tahun 1526 M Banten merupakan wilayah Kabupaten yang bernaung dibawah Cirebon (Lihat Surasowan dalam Banten).. Tahun 1552 Syarirf Hidayat mengukuhkan Hasanudin (putranya) sebagai panembahan Banten sejajar dengan Fadillah Khan (lihat Surasowan – Banten). Namun Pada tahun 1568 Banten menjadi Kesultanan yang merdeka dan lepas dari Cirebon. Bahkan wilayah Banten bertambah setelah Tubagus Angke (kabupatian Jayakarta) menjadi menantu Sultan Banten. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).

Hubungan dengan Mataram telah terjadi beberapa perkawinan, bahkan sejak jaman Demak, Pajang dan Sultan Agung (Mataram Islam) yang menikah dengan Nyi Mas Ratu Ayu Sakluh, putri Pangeran Suwarga (Adipati Cirebon I) atau masih cicit dari Syarif Hidayatullah. Putri Sultan Agung dari Ratu Sakluh, ia pun menikah dengan Pangeran Sedang Gayam (Arya Cirebon II). Selanjutnya putranya, yakni Pangeran Gayam menikah pula dengan putri Amangkurat I (Sunan Tegal Wangi).

Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Konon dari beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Menurut Sulendraningrat : “sistim perkawinan itu dimanfaatkan oleh pihak Mataram untuk melancarkan unjuk gigi bahwa Mataram lebih kuasa. Gejala perubahan sikap ini terjadi setelah Mataram menyerang ke Batavia, yaitu manakala Bopati Bagelen Arya Wiralodra ditugasi untuk mengawasi untuk mengawasi hubungan Banten dan Cirebon diperbatasan Sungai Cimanuk dengan alasan untuk melindungi Cirebon dari gangguan pihak Belanda. Tentu saja kebijaksanaan Sultan Agung tersebut ini masuk akal, prakteknya ternyata lain. Inilah yang merupakan awal citra tiada bersahabatnya Mataram dengan Cirebon”.

Dalam membahas perihal hubungan Cirebon dengan Mataram, lebih lanjut Sulendra menuliskan, bahwa “pernikahan Ratu Mas Ayu Sakluh dengan Sultan Agung Mataram adalah awal dari perubahan citra dan sikap Mataram terhadap Cirebon. Dari pernikahan Ratu Ayu Sakluk dan Sultan Ahung diperoleh keturunan Sultan Tegalwangi (Amangkurat 1). Sedangkan putri Sultan Rasmi atau Pengeran Adiningkusuma yang bergelar Panembahan Girilaya, yang menggantikan kedudukan kakeknya memerintah Cirebon. Sikap Amangkurat I senantiasa ingin merebut Cirebon. Barangkali dari sinilah banyak penulis sejarah mengatakan bahwa Cirebon vazal Mataram. Padahal secara formal Cirebon tidak menjadi vazal. Dan Cirebon pada masa periode ini selalu menghidari dari tekanan-tekanan itu. Seperti dituturkan oleh berbagai cerita lokal dibawah nanti. Banten tentu saja tidak senang dengan sikap Mataram yang demikian itu. Ditambah pula Mataram (Amangkurat I) amat akrab dengan Kompeni Belanda, tetapi bersikap bermusuhan dengan Banten.

Kondisi-kondisi tersebut memposisikan Cirebon sebagai wilayah rebutan antara Mataram, Banten dan Kompeni Belanda. Konon kabar, pasca wafatnya Panembahan Ratu, Cirebon sudah berada dibawah bayang-bayang Mataram. Pasang surut ini terjadi pula ketika Cirebon meminta bantuan Banten dan Trunojoyo untuk membebaskan Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman, karena pasca wafatnya Panembahan Girilaya keduanya tidak diijinkan pulang dari Mataram.

Pada tanggal 7 Januari tahun 1681 Cirebon melakukan perjanjian dengan Kompeni Belanda. Hal ini sebagaimana yang didokumentasikan dalam bentuk arsip berupa Naskah Perjanjian Persahabatan (mimitran). Dari dokumen tersebut paling tidak dapat terungkap, bahwa memang pada saat itu di Cirebon ada tiga penguasa, yakni Mertawijaya (Kasepuhan) ; Kertawijaya (Kanoman) ; dan Wangsakerta (Panembahan Cirebon).


Bahan Bacaan :

1. Tokoh Pangeran Wangsakerta menurut Tradisi Keraton, Pangeran Sulendraningrat. Dalam buku : Polemik Buku Wangsakerta, Edi S Ekajati, Pustaka Jaya - 2005
2. http:/id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon
3. Penelusuran masa silam sejarah jawa barat
4. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar.





Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih