Minggu, 11 April 2010

Kembali Ke Pakuan

Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).

Tantang penobatan Susuktunggal di Pakuan menurut Atja dan Ekadjati (1989:142), sebagai berikut : “setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan  Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Yoseph Iskandar - hal. 230).

Pembagian tahta Sunda sama sekali tidak memutuskan hubungan kekerabatan keturunan dari Wastu Kencana, bahkan politik kesatuan wilayah dibangun telah membuat jalinan perkawinan antar putra-putri keduanya yang masih terbilang sebagai cucu Wastu Kencana. Hal ini sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal.

Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Ki Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Ki Gedeng Kasmaya menjadi penguasa tersebut menggantikan mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).

Ngarumpak Larangan
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan dengan pelanggaran moral.

Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan.

Dari masing-masing kisah tersebut sebenarnya dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.

Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Pada periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar, ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.

Kisah akhir dari suatu kerajaan di pulau Jawa tentunya hampir sama, antara lain melahirkan mitos-mitos yang terkait dengan kondisi sang raja atau keluarganya. Misalnya, munculnya mitos tentang Sabda Palon di Majapahit dan Wangsit Siliwangi di Pajajaran. Kedua mitos tersebut ditafsirkan sedemikian rupa dan ditautkan dengan kondisi kekinian, pada akhirnya melahirkan paradigma tentang akan munculnya Ratu Adil.

Mitos selanjutnya yang muncul juga dikaitkan dengan kisah Ratu Kidul yang sangat melegenda. Didalam RPMSJB menjelaskan, bahwa : Bondan Kejawan, putra Kertabumi dari selirnya, Wandan Bondr Cemara, mengungsi ke Mataram. Ia kemudian memperistri Nawangwulan ratu Mataram yang juga disebut Ratu Kidul. Dari perkawinan ini lahir Ratu Angin-angin atau Ratu Kidul yang kelak diperistri oleh Sutawijaya pendiri kerajaan Mataram”. (Jilid Ketiga, hal 51).

Memang agak sulit melacak kebenarannya, mengingat hanya beredar di kalangan masyarakat tradisional dalam bentuk sejarah lisan, pantun atau babad yang sarat dengan simbol-simbol, masih perlu ditafsirkan. Namun biarlah masalah tersebut hidup terus. Paling tidak dapat menjelaskan adanya ikatan sejarah dan benang merah antara masa kini dengan kearifan masa lalu.

Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.

Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.

Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.

Wanita terlarang (Istri larangan) di dalam tradisi Sunda pada masa itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)

Sejatinya suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi, karena suatu larangan tanpa sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak memiliki alat pemaksa. Demikian pula di dalam hukum adat, seseorang akan dikenakan sanksi jika ia melanggar keseimbangan adat, dalam hal ini ada ketentuan adat yang dilanggar Dewa Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.

Peristiwa pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya tetsebut diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :

·         Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :

  • ·         //sang ningrat kancana / a-
  • ·         Thawa prabhu dewa niskala/
  • ·         Madeg ratu ghaluh pakwan
  • ·         Ing (1397-1404) ikang ca-
  • ·         Kakala//lawasnya/pitung warca/
  • ·         Mapan sira kawilang sang sa-
  • ·         Lah mastri lawan wanodya
  • ·         Sakeng wilwatikta/
  •  
(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis (hulanjar) dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].

Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.

Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lainnya memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :

  • ·         Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya.
  • ·         Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
  • ·         "Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati."
  • ·         Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima - untarayana madura - suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
  • ·         Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama.
  • ·         Lilana ngadeg ratu saratus taun.
  •  
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.

Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.

Dari Kawali ke Pakuan.
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda menurut versi sejarah resmi terjadi akibat perselisihan penguasa Galuh dengan Sunda yang cenderung memutuskan hubungan kekerabatan keraton Surawisesa dan Pakuan. Hal tersebut dipicu oleh Dewa Niskala yang dianggap melanggar larangan dengan menikahi Hulanjar dan istri larangan. Untung saja Wastu Kancana sebelumnya telah mempersiapkan Jayadewata, cucunya untuk meneruskan tahta Sunda. Jika saja tidak dipersiapkan dimungkinkan hubungan Sunda dengan Galuh akan kembali sebagai hubungan sebelum dilakukannya perjanjian Galuh di Purasaba.

Jayadewata pada waktu itu masih berposisi sebagai Putra Mahkota Sunda Kawali dan sebagai Prabu Anom di Pakuan. Gelar Prabu Anom berdasarkan pada garis kekerabatan setelah menikah dengan putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Putra Mahkota karena ia putra dari Dewa Niskala.

Jayadewata sebelumnya melakukan pernikahan dengan dua cucu Wastu Kancana lainnya, yakni Ambetkasih, putri Gedeng Sindang Kasih dan Subanglarang, putra Gedeng Tapa. Pada masa itu ia masih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa,

Lalampahan Jayadewata di Cirebon ditafsirkan para sejarawan untuk menimba ilmu kenegaraan dan mendapat pengalaman lain sebagai bekal dikemudian hari. Kisah Sang Pamanah Rasa di dalam cara mendapatkan Ambetkasih di Sindangkasih misalnya, digambarkan sejarawan tradisional dengan sangat dramatis, bagaimana ia dapat mengalahkan Amuk Murugul yang sakti mandraguna dalam suatu lomba tanding satria, ia pun menyamar dengan nama Keukeumbing Rajasunu. Kisah ini dapat ditemukan dalam cerita pantun yang syarat dengan simbol-simbol. Namun dalam dunia nyata memang kedua tokoh benafr adanya. Amuk Murugul kemudian Menjadi raja Singapura (Cirebon) sedangkan Sang Pamanah Rasa menjadi raja Pajajaran.

Didalam kisah lainnya Subanglarang adalah Santriwati dari Pondok Quro Karawang, dari pernikahan tersebut lahir Walangsungsang. Putra dari Subanglarang kemudian menjadi penyebar agama Islam di Cirebon. Namun didalam naskah Wangsakera, Walangsungsang dianggap cucu dari Jayadewata.  Dari epos sejarah ini banyak kisah dalam bermacam versi, Misalnya dikisahkan Jayadewata (Prabu Siliwangi) dikejar-kejar putranya supaya pindah ageman, bahkan tak kurang yang mengidentifisir Walangsungsang sebagai Kian Santang. Kekeliruan identifikasi ini berhenti sejenak setelah para penafsir mengalihkan nama Kian Santang kepada Sunan Rokhmat yang dimakamkan di Godok Garut, namun kisah ageman Prabu Siliwangi sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang menarik.

Rupanya kebesaran nama Prabu Siliwangi memang sangat menarik untuk diperbincangkan, tak pernah habis-habisnya, karena masyarakat tradisional di Jawa Barat seolah-olah tidak mau melepaskan kisah raja-raja Sunda jika tidak mengaitkan dengan nama Prabu Siliwangi. Akibatnya banyak versi dan banyak kisah, seolah-olah Prabu Siliwangi adalah raja Sunda seluruh jaman dan tokoh untuk semua kisah serta versinya.

Jayadewata adalah penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan. Pada masa muda lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala, yang mewarisi tahta ayahnya di Galuh. Sebagai raja Sunda di Galuh ia bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian mewarisi tahta mertuanya di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja.

Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisahnya jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.

Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :

·         OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
·         diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri
·         baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de-
·         wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis-
·         kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu
·         ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
·         ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga
·         rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan-
·         dawa (m) bumi OO

Terjemaahan
[Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].

Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :

·         Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa.

[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Yoseph, hal. 226)

Dari dua kali pengangkatannya tersebut tentunya membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Kisah pengangkatannya di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).

Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan “disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”.

Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.

Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, namun yang sering disebut-sebut oleh para sejarawan adalah Sang Pamanah Rasa, Sri Baduga Maharaja dan Prabu Siliwangi. Masyarakat di tatar Sunda merasa teu wasa untuk menyebut gelarnya, bahkan ada yang menganggap tidak sopan, sehingga dalam cerita Pantun dan Babad lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Suatu gelar yang diberikan kepada raja Sunda yang berjasa besar, yakni Prabu Wangi, diberikan kepada Prabu Maharaja yang gugur dalam palagan Bubat dan Prabu Wangisuta, gelar untuk Prabu Niskala Wastu Kancana.

Alasan lain tentang nama Sri Baduga disebut Siliwangi, menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia menggantikan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Dalam Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :

·         “Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”

(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]

Penulis Carita Parahyangan menyebutnya dengan nama Sang Ratu Jayadewata. Kisah tersebut, sebagai berikut :

  • ·         Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
  • ·         Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
  •  
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda. Tentunya berhubungan dengan Prasasti Kawali yang menegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)

Sumber Bacaan :
·         Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
·         Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
·         Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·         Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
·         Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
·         Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
·         Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
·         Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
·         pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
·         wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
·         wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
·         Sumber lain.

Pasca Bubat

Pasca tragedi Bubat dikisahkan dalam versi Berita Nusantara II/2. Menurut buku ini, “Prabu Hayam Wuruk tiba bersama pengiringnya dan Gajah Mada di Bubat. Kemudian ia meneliti dan memperhatikan mayat orang-orang Sunda satu demi satu. Ketika matanya tertatap sesosok mayat, ia melihat Sang Putri telah terbujur kaku, maka sangatlah luka hatinya. Ia terisak menahan tangis. Kemudian semua mayat itu dimasukan kedalam bandusa (peti mati) dan diberi tulisan yang memuat nama masing-masing”. (RPMSJB, Jilid ketiga hal, 35)

Adapun nama-nama para kesatria Sunda yang gugur di Bubat, sebagai berikut :

·         RakeyanTumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri (mantri muda), Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri Usus, yaitu bhayangkara sang prabu, Rakeyan Senapati Yuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya Patih Mandala Kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakean Nakoda Braja yang menjadi panglima laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan. Ki Juruwastra, Ki Mantri Sabrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking. Lalu Sang Prabu Maharaja Linggabuana ratu Sunda dan rajaputri Dyah Pitaloka bersama pengiringnya. 

Prabu Hayam Wuruk keluar dari tenda Sang Putri. Dari kejauhan nampak berkibar dua panji Majapahit dan Sunda. Ia pun menugaskan untuk menyelenggarakan upacara kematian secara kebesaran esok harinya. Ketika semua mayat dimandi sucikan dan diperabukan, tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan, menyaksikan dengan penuh haru.

Selanjutnya Hayam Wuruk memerintahkan para darmayaksa dan utusan dari setiap agama menemui Sang Bunisora (adik kandung Parbu Maharaja), untuk mengirimkan surat berisi permintaan maaf atas peristiwa Bubat. Hayam Wuruk berjanji pula, tidak akan pernah terjadi lagi Majapahit menyakiti hati Urang Sunda untuk yang kedua kalinya.

Menurut versi yang dimuat dalam Pustaka Nusantara II/2, dikisahkan, :

  • ·         Sakweh ing amtya, tanda senapati, wadyabala, kuwandha raja, dolaya manacitta mapan Bhre Prabhu wilwatika i sedeng gering ngenes, Marga nira gering, karena kahyun ira masteri lawan Dyah Pitaloka tan siddha.

Akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik Prabu Hayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya.

Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua. Ada juga versi lain yang menjelaskan, bahwa akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (ada juga yang menyatakan moksa), pada tahun 1364 M.

Keteguhan Janji
Hayam Wuruk memang telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak lagi menyerang Sunda, namun sebagai antispasi dan kewaspadaan, Mangkubumi Bunisora masih belum merasa yakin atas janji yang disampaikan Hayam Wuruk. Ia tidak mau terjadi lagi peristiwa seperti Bubat, pura-pura diajak bersaudara namun diperih pati.

Sebagai bentuk kewaspadaan, Sang Bunisora menyiagakan angkatan perang dan angkatan lautnya. Armada Sunda ditempatkan di tungtung Sunda, yaitu di kali Brebes (Cipamali) yang menjadi perbatasan Sunda dengan Majapahit. Namun Hayam Wuruk menepati janjinya dan tidak menyerang Sunda untuk yang kedua kalinya. Konon kabar, janji ini dibuktikan pula, ketika Prabu Hayam Wuruk hendak melakukan ekspedisi ke Sumatera, ia terlebih dahulu memberi kabar kepada Hyang Bunisora bahwa kapal-kapal Majapahit akan melewati perairan Sunda.

Pentaatan Raja-raja Sunda terhadap perjanjian ini juga diwariskan
untuk tidak berniat menyerang Majapahit. Hal ini dibuktikan oleh raja Sunda untuk tidak menyerang Majapahit, ketika terjadi perang Paregreg (1453-1456 M), yaitu peristiwa perebutan tahta Majapahit oleh para keturunannnya. Pada masa perang Paregreg Kawali sudah berada dibawah kekuasaan Wastu Kancana, putra Linggabuana.

Demikian pula pada masa sesudahnya. Ketika itu Majapahit dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindrawardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi ketimur, yakni ke Panarukan, Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang. Gelombang para pengungsi ada juga yang menuju ke barat, ke daerah Galuh dan Kawali. Rombongan yang terkahir ini di pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.

Mitos atau larangan.
Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwarikan kepada Dewa Niskala. Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak dua larangan’ dengan cara menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan salah satu rombongan para pengungsi.  Hal tersebut ditentang oleh lingkungan kerabat Galuh, termasuk oleh saudara seayah, yakni Prabu Susuktunggal (raja Sunda di Pakuan). Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga Susuktunggal mengancam akan memutuskan segala hubungan kekerabatannya dengan Galuh. Mungkin ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.

Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.

Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang cukup besar, karena adanya peristiwa ini maka pada tahun 1482 M, kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, untuk kemudian pusat pemerintahan Sunda beralih ke Pakuan, Jayadewata sendiri dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.

Terakhir
Kisah Bubat tidak hanya dituliskan oleh sejarawan Belanda, melainkan juga oleh sejarawan lokal, seperti buku Kidung Sundayana, serta sejarah lisan yang diceritakan secara turun temurun. Kisah Bubat juga menciptakan beberapa mitos, seperti tentang hulanjar, larangan laki-laki keturunan keraton Galuh untuk menikahi dengan perempuan keluarga Majapahit, atau ketiadaan nama jalan yang sesuai dengan nama negara para pelaku sejarah. Namun mitos tersebut sedikit demi mulai luntur. Perkawinan antar suku (bahkan antar bangsa dan antar agama) dianggap hal yang wajar, masalah hulu lanjar pun secara moralitas masih dilarang jika tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku umum.

Suatu kisah yang dikisahkan atau dari kepandaian penulis dalam memaparkan suatu peristiwa adakalanya mampu merubah paradigma pembaca. Tak salah jika suatu buku dinyatakan sebagai sumber ilmu, karena ia mampu merubah pemikiran para pembaca. Demikian pula tentang penulisan sejarah Tragedi Bubat, banyak versi yang berkembang. Dari yang benar-benar menceritakan latar belakang suatu peristiwa, maupun tulisan yang bersifat rekaan, karena tak iklas tokohnya berlacak buruk,, termasuk untuk tujuan komersil, maka sangat bijaksana jika referensi buku dan kesejarahan yang dipelajari tidak cukup hanya dari satu sumber.

Tragedi Palagan Bubat telah menciptakan motivasi bagi para penulis pasca proklamasi untuk menciptakan keutuhan negara sebagai suatu kesatuan wilayah Indonesia yang kuat, dan dijauhkan dari sifat sentimen kesukuan. Hal ini bisa terlaksana jika satu pihak tidak merasa mendominasi sejarahnya terhadap pihak lain. Upaya yang paling radikal (mengakar) dilakukan pula ketika beberapa pihak menyatakan bahwa Tragedi Bubat itu tidak pernah ada, buku yang mengisahkan Palagan Bubat, seperti Kidung Sundayana disinyalir diciptakan untuk memecah belah bangsa Indonesia, bahkan dibuat oleh orang Belanda yang menginginkan terjadinya perpecahan dikalangan Bumi Putra.

Pendapat dan penafsiran demikian mungkin perlu dikaji kembali, karena cepat atau lambat kebenaran tersebut akan terkuak. Sejarah tidak akan pernah dapat dihapuskan dan akan di uji sesuai kemampuan setiap generasi dalam mengungkap kesejatian sejarahnya. Tak perlu juga malu untuk mengungkapkan jika kupasan sejarah tersebut dibuat dalam koridor yang ada didalam bingkai ke Indonesiaan. Karena apapun masalahnya, Indonesia sebagai suatu bangsa telah memiliki perjalanan sejarahnya. Dari semua itu kita bisa bercermin, tentang mana yang baik dan perlu dilanjutkan dan mana yang buruk dan perlu ditinggalkan. Cag Heula (***)


Sumber Bacaan :
·         Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
·         Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·         Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
·         Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
·         Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
·         Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
·         Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
·         pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
·         wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
·         wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
·         Sumber lain.

Tragedi Bubat

umuli pasunda-bubat. Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda.
Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda.
Ahidep wong Sunda yan awarawarangana.
Teka ratu Sunda maring Majapahit,
sang ratu Maharaja tan pangaturaken putri.
Wong Sunda kudu awiramena tingkahing jurungen.
Sira patihing Majapahit tan payun yen wiwahanen-
reh sira rajaputri makaturatura.

Tulisan diatas merupakan kisah tentang tragedi bubat, dimuat dalam Berita Pararathon. Kitab ini menyebutnya Pabubat atau Pasunda Bubat. Pemilihan Istilah “Tragedi” dalam Pabubat bagi para penyusun sejarah memiliki alasan yang masuk akal. Peristiwa Bubat sebenarnya lebih tepat disebut sebagai lakon yang menyedihkan (tragedi) ketimbang disebutkan perang, mengingat dalam Pabubat raja Sunda tidak berniat berperang dan hanya mengantarkan putrinya untuk dinikahkan, maka wajar jika tidak menyiapkan pasukan perang yang kuat, dan hanya membawa rombongan pengantin. Sementara pihak lawan sudah merencanakan peristiwa ini, bahkan benar-benar mempersiapkan, sehingga peperangan pun terjadi di wilayah Majapahit secara tidak seimbang.   

Tragedi Bubat diawali dari perselisihan Kerajaan Sunda dengan Majapahit, ketika itu Majapahit masih dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan patihnya yang terkenal Gajah Mada, sedangkan dipihak Sunda yang bertahta waktu itu adalah Prabu Maharaja Linggabuana. Sedangkan Bubat dikenal dari nama suatu daerah daerah yang terletak di wilayah Jawa Timur, sebelah utara Majapahit.

Menurut Berita dari Nusantara II/2 halaman 62, dikisahkan gugurnya Prabu Linggabuana beserta para ksatria Sunda, sebagai berikut :

‘Selanjutnya dikisahkan, pada tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka Sang Prabu Maharaja Sunda gugur di Bubat di negeri Majapahit. Saat itu Sang Prabu Maharaja bermaksud menikahkan putrinya yaitu Sang Retna Citraresmi atau Dyah Pitaloka dengan Bre Prabu Majapahit yang bernama Sri Rajasanagara’.

Tragedi Bubat dikisahkan pula di dalam beberapa sumber, seperti Kidung Sunda ; Kidung Sundayana ; Carita Parahyangan ; Kitab Pararathon ; dan Pustaka Nusantara. Saat ini sudah terbit novel yang bersifat hiburan untuk sekedar memuaskan keingintahuan para pembaca, sekaliapun ada novel yang jauh dari spirit kasundaan, namun buku tersebut laku keras. Konon mengisahkan Gajah Mada tidaklah lengkap jika tidak mencantumkan Palagan Bubat, bahkan dalam versi lain, peristiwa ini dapat efektif dijadikan mesin cuci bagi keharuman nama Gajah Mada.

Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr.C.C.Berg, menemukan beberapa versi Kidung Sunda, disusun dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan, berbentuk tembang (syair). Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya, yaitu Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Perjalanan Urang Sunda) yang berasal dari Bali.

Di Bali Kidung Sundayana di kenal dengan nama Geguritan Sunda. Mungkin karena Berg orang Belanda, dan pada masa lalu banyak menyebar luaskan kepada khalayak, maka masalah Bubat pernah disebut-sebut sebagai upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia. Tapi dokumen lainpun selain Kidung Sundayana atau Geguritan Sunda ditemukan pula, seperti dalam naskah Pararathon dan Pustaka Nusantara. Bahkan sekalipun hanya satu alinea, Carita Parahyangan memuat, sebagai berikut :
  •  
  • Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
  • Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.

Kidung Sunda atau Kidung Sundayana dibuat sebagai upaya dan niat baik Prabu Hayam Wuruk untuk menyesalkan masalah bubat. Hayam Wuruk mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahannya. Melalui perantara Sang Darmadyaksa kemudian Hayam Wuruk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, pengganti Raja Sunda. Pada kesempatan itu pula dijanjikan, bahwa : peristiwa bubat akan dimuat dalam Kidung Sunda (Sundayana). Semua bertujuan untuk diambil hikmahnya.

Hubungan Sunda dengan Majapahit
Didalam Pustaka Nusantara II diterangkan bahwa permaisuri Darmasiksa adalah putri keturunan Sanggramawijayot tungga warman, penguasa Sriwijaya yang bertahta pada tahun 1018 sampai dengan 1027 masehi. Dari perkawinannya lahir dua orang putra, yakni Rakeyan Jayagiri atau Rakeyan Jayadarma dan Sang Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah, dikenal pula dengan sebutan Sang Lumahing Taman.

Rakeyan Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal, sedangkan putranya yang kedua, yakni Ragasuci dijodohkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawar-madewa, dari Melayu. Dara Kencana, kakak dari Dara Puspita diperistri oleh Kertanegara, raja Singosari. Dari posisi campuran perkawinan pada waktu itu sunda dapat memposisikan diri sebagai penengah pada setiap terjadi perselisihan antara Sumatra dan Jawa Timur.

Hubungan kekerabatan Sunda dengan Majapahit dimuat pula dalam naskah lain. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 : Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Dharmasiksa Raja Sunda, adalah menantu Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Rakeyan Jayadarma berjodoh dengan putrinya Mahisa Campaka yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Teleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok, raja Singosari dari Ken Dedes.

Dari pernikahan Rakeyan Jayadarma denga Dyah Lembu Tal di Pakuan, memiliki putra yang bernama Sang Nararya Sang ramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Dengan demikian Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes, sekaligus putra Rakeyan Jayadarma.

Dikarenakan Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Raden Wijaya setelah dewasa menjadi senapati Singasari, pada waktu itu diperintah oleh Kertanegara, hingga pada suatu ketika ia mampu mendirikan negara Majapahit. Raden Wijaya didalam Babad Tanah Jawi dikenal juga dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran, karena ia lahir di Pakuan.

Dari alur kesejarahan tersebut, Raden Wijaya di Sunda dikenal sebagai Cucu dari Prabu Darmasiksa, Raja sunda yang ke-25, ayah Rakeyan Jayadarma. Dalam Pustaka Nusantara III dikisahkan, bahwa : Darmasiksa masih menyaksikan Raden Wijaya, cucunya mengalahkan Jayakatwang, raja Singasari. Kemudian dengan taktis ia mampu menyergap dan mengusir keluar Pasukan Kublay Khan dari Jawa Timur. Empat hari pasca pengusiran pasukan Cina, atau pada 1293 M, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Wilwatika dengan gelar Kertarajasa Jayawardana.

Hubungan Darmasiksa dengan Raden Wijaya ditulis di dalam Pustaka Nusantara III, tentang pemberian nasehat Darmasiksa kepada Raden Wijaya, cucunya. Ketika itu Raden Wijaya berkunjung ke Pakuan dan mempersembahkan hadiah kepada kakeknya. Nasehat tersebut, sebagai berikut :

Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrum, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.

Ikang Sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatika sakopayana maweh carana ; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.

(Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya. –

Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan menjadi keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit).

Memang, ketika masa Raden Wijaya, hubungan Sunda dengan Majapahit sangat baik dan tanpa percekcokan.

Pinangan Prabu Hayam Wuruk
Peristiwa Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut setelah beredar lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh Sungging Prabangkara, seniman lukis pada masa itu.

Kisah demikian sama dengan yang dimuat di dalam salah satu Novel tentang Bubat. Dyah Pitaloka di gambar atas perintah keluarga keraton Majapahit, bertujuan untuk mengetahui paras Sang Putri. Namun dalam novel itu pula nama Dyah Pitaloka menjadi rusak, karena dikisahkan jatuh cinta kepada pelukisanya. Saya kurang memahami tujuan pembuat novel ini, apakah ia menyamakan kepiawaian pelukis istana tersebut dengan Leonardo Da Vinci yang berhasil membuat teka-teki atas lukisan Monalisa ?. atau ibarat pepatah “ngaleng bari neke” ?.

Pengurasakan citra Dyah Pitaloka tak hanya itu saja, di dalam nover lain dikisahkan pula bahwa Dyah Pitaloka telah memadu kasih dengan Gajah Mada. Ketika Sang Mada belum menjadi Mahapatih. Namun tetntunya sangat sulit dipahami versi hiburan ini, terutama jika dihubungan denga waktu berdarmawisatanya Sang Mada ke tatar Sunda, sehingga sempat cinta lokasi dengan Dyah Pitaloka. Namun kita pun akhirnya harus memaklumi, karena novel itu pun harus laku, sehingga perlu ada kejuatan lain dari pada yang lain, seolah-olah ada berita baru yang harus diketahui khalayak.

Alasan yang mungkin dapat masuk akal dipaparkan oleh penulis sejarah Pajajaran, yakni Saleh Danasasmita dan penulis naskah Perang Bubat, yakni Yoseph Iskandar. Kedua penulis sejarah ini menyebutkan, bahwa niat pernikahan itu untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Urang Sunda masih merasa saudara dengan urang Majapahit,. Karena Raden Wijaya yang menjadi pendiri Majapahit, dianggap masih keturunan Sunda. Pernikahan demikian dianggap wajar dimasa lalu, sama seperti yang dilakukan raja-raja sebelumnya. Seperti hubungan Galuh dengan Kalingga dijaman Wretikandayun, yang menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Parwati, Putri Ratu Sima.

Niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka telah direstui keluarga kerajaan, sehingga tak lagi ada masalah dengan status kedua kerajaan, kecuali untuk melangsungkan pernikahan. Selanjutnya Hayam Wuruk mengirim surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana dan menawarkan agar upacara pernikahan dilakukan di Majapahit.

Tawaran Majapahit tentunya masih dipertimbangkan, terutama oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Pertama, masalah lokasi atau tempat pernikahan. Pada waktu itu adat di Nusantara menganggap tidak lajim jika pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Kedua, ada dugaan alasan ini merupakan jebakan diplomatik Gajah Mada yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Namun Linggabuana hanya melihat adanya rasa persaudaraan dari garis leluhurnya, sehingga ia memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit. Rombongan kerajaan kemudian berangkat ke Majapahit, dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kegamangan Prabu Hayam Wuruk
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain Gajah Mada untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Niat tersebut untuk memenuhi sumpahnya yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Pada masa itu seluruh kerajaan di Nusantara sudah ditaklukkannya kecuali kerajaan sunda, maka timbulah niatnya.

Gajah Mada dalam melaksanakan maksud tersebut membuat alasan, bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. ini di sampaikan kepada Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada pun mendesak, agar Hayam Wuruk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk negeri Sunda kepada Majapahit. Dari hal itu diharapkan agar Sunda mau mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana menjadi bimbang. Ia terjebak dalam dilema, antara cinta dan perlunya mentaati saran Gajah Mada. Disisi lain, Gajah Mada adalah Mahapatih yang paling diandalkannya.

Peristiwa selanjutnya dikisahkan didalam Kidung Sunda, dalam bentuk Sinom, sebagai berikut :

  • ‘Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
  • Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Kegagalan Diplomatik
Ketika mengetahui adanya keraguan dari pihak Majapahit, maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke lingkungan keraton Majapahit disertai tiga pejabat lainnya dan 300 orang pasukan. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang jika niat Gajah Mada dilanjutkan. Raja Sunda mengira bahwa Hayam Wuruk ingkar janji.

Utusan itu bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Majapahit. Dalam kisah tersebut diceritakan pula dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan kerajaan Sunda yang kecewa, setelah mendengar, bahwa kedatangan mereka (sunda) dianggap hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui keunggulan Majapahit, bukan karena undangan untuk menikahkan seperti janji sebelumnya. Akhirnya pertengkaran ini ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Kemudian pulanglah utusan Sunda ke pasanggrahan Bubat, dengan meninggalkan pesan, Raja Sunda akan memberi kabar dalam waktu dua hari tentang syarat yang disampaikan Majapahit.

Kemarahan utusan sunda dikisahkan dalam Kidung Sunda, dengan menggunakan bahasa Jawa pertengahan :

  • Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
  • Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
  • Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
  • Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Dalam bahasa Sunda :
  • ·       "Hé Gajah Mada, naon maksudna anjeun gedé bacot ka kami? Kami mah rék mawa Rajaputri, sedeng anjeun kalah miharep kami mawa upeti kawas ti Nusantara. Kami mah béda. Kami urang Sunda, can kungsi éléh perang.
  • ·        Kawas nu poho baé sia baheula, nalika anjeung keur perang di wewengkon pagunungan. Perang campuh diuudag urang Jipang. Terus patih Sunda datang deui sahingga pasukan dia mundur.
  • ·        Mantri sia nu dua nu ngaranna Les jeung Beleteng dikadék nepi ka paéh. Pasukan sia bubar jeung kalabur. Aya nu labuh ka jurang sarta ti kakarait kana cucuk rungkang. Maranéhna paéh kawas lutung, owa, jeung setan, lalumengis ménta hirup.
  • ·        Ayeuna sia gedé sungut. Bau sungut sia kawas kasir, kawas tai anjing. Ayeuna kahayang sia teu sopan sarta hianat. Nuturkeun ajaran naon salian ti hayang jadi guru nu ngabohong jeung milampah rucah. Nipu jalma budi hadé. Mun paéh, roh sia bakal asup naraka!" 
Di pasanggarahan Bubat, raja Sunda setelah mendengar kabar terakhir adanya rencana Gajah Mada, ia tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazaal. Ia pun dihadapkan pada posisi yang dilematis, antara perlunya merajut duduluran dengan pentungnya mempertahankan harga diri, kemudian raja Sunda memberikan putusan “Demi membela kehormatan, rela gugur seperti seorang ksatria, lebih baik mati dari pada hidup tetapi dihina orang lain”. Mendengar putusan Sang Raja, serentak para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membela sampai titik darah penghabisan.

Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya. Ia memerintahkan agar istri dan anaknya (Dyah Pitaloka) pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja dan menyambut serangan Majapahit.

Perang Bubat
Terjadinya suatu peperangan biasanya didahului dengan kegagalan diplomatik. Demikian juga pada peristiwa Bubat. Masalahnya semakin meruncing ketika Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut. Wajar jika Hayam Wuruk merasa ragu, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang paling diandalkannya.

Sebelum Prabu Hayam Wuruk memberikan putusan, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat. Lantas ia pun mengancam Linggabuana untuk mengakui hegemoni Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Peristiwa dan dialog tersebut digambarkan, sebagai berikut :
·          
·         [...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
·         Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
·      Monng kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi

[ [...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri. - Maka ini terdengar oleh Sri Raja (Sunda) dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!” - “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit.]

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan yang sangat kecil, terdiri dari pengawal kerajaan (Balamati) dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda.

Didalam pertempuran tersebut ada seorang perwira Sunda yang pura-pura mati. Setelah suasana agak reda lantas ia memberitahukan peristiwa terakhir itu kepada ratu dan putri Sunda di perkemahan. Selanjutnya ratu dan putri Sunda melakukan mati bela. Sedangkan istri para perwira Sunda menyongsong ke medan perang. Dihadapan jenazah suaminya merekapun melakukan mati - bela.

Peristiwa ini diabadikan didalam Kidung Sunda, dengan Pupuh II (Durma), digambarkan :

  • ·         Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui.
  • ·         Pasukan Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna.
  • ·         Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina
  •  
Menurut Berita Nusantara II/2, peristiwa tersebut terjadi pada hari selasa – Wage sebelum tengah hari. Semua orang Sunda yang dibubat itu telah binasa. Tak ada seorangpun yang tersisa. Adapaun para pembesar yang gugur di Palagan Bubat, adalah :

  • ·         RakeyanTumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri (mantri muda), Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri Usus, yaitu bhayangkara sang prabu, Rakeyan Senapati Yuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya Patih Mandala Kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakean Nakoda Braja yang menjadi panglima laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan. Ki Juruwastra, Ki Mantri Sabrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking. Lalu Sang Prabu Maharaja Linggabuana ratu Sunda dan rajaputri Dyah Pitaloka bersama pengiringnya. 
  •  
Pasca Palagan
Berita Nusantara II/2 mengisahkan, Prabu Hayam Wuruk tiba bersama pengiringnya dan Gajah Mada di Bubat. Kemudian ia meneliti dan memperhatikan mayat orang-orang Sunda satu demi satu. Ketika matanya tertatap sesosok mayat, ia melihat Sang Putri telah terbujur kaku, maka sangatlah luka hatinya. Ia terisak menahan tangis. Kemudian semua mayat itu dimasukan kedalam bandusa (peti mati) dan diberi tulisan yang memuat nama masing-masing.

Peristiwa ini dilukiskan dengan pilu didalam Kidung Sunda, sebagai berikut :
  •  
  • Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
  • Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
  • Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
  • Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
  • Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
  •  (Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
  •  
  • Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
  •  
  • Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
  •  
  • Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana)
  •  
Prabu Hayam Wuruk keluar dari tenda Sang Putri. Dari kejauhan nampak berkibar dua panji, yakini panji kerajaan Majapahit dan Sunda. Ia pun menugaskan Sang Patih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara kematian secara kebesaran esok harinya. Ketika semua mayat dimandi sucikan dan diperabukan, tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan, menyaksikan dengan penuh haru. Kelak di Sunda dibuat patung pribadi Sang Maharaja. Selanjutnya Hayam Wuruk memerintahkan para darmayaksa untuk menemui Bunisora dan mengirimkan surat untuk memintakan maaf atas peristiwa Bubat. Hayam Wuruk berjanji pula, tidak akan pernah terjadi lagi Majapahit menyakiti hati Urang Sunda untuk yang kedua kalinya.

Tentang Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada, memang ada kelanjutannya dalam Kidung Sunda, dalam Pupuh III (Sinom), dalam bahasa Sunda, sebagai berikut :
·          
  • ·         Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu.
  • ·         Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida.
  • ·         Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga Samadi, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala).
  • ·         Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
  •  
Versi lainnya dimuat dalam Pustaka Nusantara II/2, yakni : Akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik PrabuHayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya. Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua.

Kemudian ada juga versi yang menjelaskan, bahwa akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (ada juga yang menyatakan moksa), pada tahun 1364 M. Namun didalam Pustaka Nusantara II/2, dijelaskan, bahwa : akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik PrabuHayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya. Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua.

Persitiwa Bubat terjadi pada hari Selasa – Wage sebelum tengah hari. Semua urang Sunda yang datang di pasangrahan Bubat dibinasakan. Tak seorang pun yang tersisa. Tetapi Bumi Sunda tidak pernah dapat dikuasai Majapahit.  Karena hasrat Majapahit untuk menaklukan Sunda tak pernah dapat terlaksana.

Sedemikian kokohnya harga diri Urang Sunda. Semoga generasi penerusnya memiliki “pamadegan” yang sama. Teu lali kana purwadaksina, kalawan mibanda ajen diri salaku teureuh para ksatria Sunda. Karena suatu bangsa menjadi tidak ada artinya jika tidak memiliki harga diri dan jati diri. Cag heula (***)

Sumber Bacaan :
·         Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
·         Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
-         Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
·         Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
·         Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
·         Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
·         Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
·         pasundan.homestead.com - Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
·         wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
·         wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
·         Sumber lain.

Pesan :

Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih