Pasca wafatnya Sri Baduga, kemudian digantikan oleh Surawisesa (1522 - 1535), puteranya dari Kentring Manik Mayang Sunda. Surawisesa dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan kasuran (perwira), kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun masa pemerintahannya mengalami 15 kali pertempuran. Penulis Carita Parahyangan menuturkan, sebagai berikut :
- Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
- Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa.
- Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Didalam kisah Pantun dan Babad Surawisesa dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusumah. Ia memiliki Permaisuri bernama Kinawati yang berasal dari Kerajaan Tanjung Barat, yang terletak di daerah Pasar Minggu sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati, penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan, dahulu bernama Kaung Pandak. Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Pada jaman dahulu merupakan kota pelabuhan dan berada dititik silang. VOC mencatat tempat ini sebagai daerah yang berjarak satu setengah kali perjalanan dari Muara Ciliwung. Dan diberi nama Jalan Banten Lama atau "oude Bantamsche weg".
Duta Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Pajajaran. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
- Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
- Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta inhgin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
- Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang. Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Dari pihak Demak nampaknya berupaya pula untuk menguasai Malaka dari tangan Portugis, namun serangan yang dilakukan pada tahun 1518 dan 1521 yang dipimpin Sabrang Lor untuk menyerang posisi Portugis di Pasai, mengalami kegagalan, bahkan Sabrang Lor, Sultan Demak kedua gugur. Portugis dapat dikalahkan di Pasai pada tahun 1595, ketika itu pasukan laut Aceh dipimpin Laksamana Malahayati. Sedangkan posisinya di Malaka masih dapat dipertahankan sampai dengan tahun 1641. Pada masa itu Portugis berhasil dikalahkan oleh Kumpeni Belanda.
Pasca berakhirnya pertempuran di Pasai, Surawisesa sebagai duta Sunda untuk kali kedua berkunjung ke Malaka. Disatu sisi, pasca kegagalan menyerang Pasai, kemudian Demak mengalihkan perhatiannya untuk menguasai selat Sunda. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan dagangnya. Namun sulit dipertahankan Sunda, mengingat Sri Baduga pada akhir tahun 1521 wafat dan bantuan Portugis masih belum tiba.
Dipihak Demak telah terjadi suksesi. Pada tahun 1521 dinobatkan Sultan Ahmad Abdul Arifin sebagai sultan Demak yang ketiga. Ia putra ketiga dari Raden Patah yang lahir pada tahun 1483. Ia memperoleh tahta Demak karena Sabrang Lor tidak memiliki putra, maka ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai Sultan Demak.
Menurut salah satu versi Sultan Ahmad Abdul Arifin memperoleh nama Trenggono karena ketika hamil ibunya mengidam untuk pergi ke Trangganu, karena lidah penduduklah kemudian sebutan itu berubah menjadi Trenggono.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir oleh pihak utusan pihak Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield" (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono. Hal ini disebabkan Selat Malaka yang dijadikan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono segera mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Posisi Fadilah Khan juga sangat kuat, karena ia masih terhitung cucu Sunan Ampel, atau Ali Rakhmatullah. Hal ini dikarenakan buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar, ayah dari Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Hal ini sesuai dengan lafal orang Portugis dalam menyebutkan Fadillah Khan, namun Tome Pinto menyebutnya Tagaril, dari sebutan Ki Fadil. Nama ini julukan sehari-hari dari Fadillah Khan. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Pasca Sri Baduga
Setelah Sri Baduga wafat, penguasa Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang. Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Ia masih putra Sri Baduga dari Subanglarang, sedangkan Surawisesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Dengan demikian keengganan Cirebon unuk menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang, sehingga terjadi pertempuran di wilayah Citarum bagian barat.
Pada masa itu Cirebon mendapat dukungan penuh dari Demak. Pada suatu ketika Cirebon menjadi lemah. Hal ini terjadi pasca kegagalan Demak menyerbu Pasuruan dan Panarukan yang berakibat terbunuhnya Sultan Trenggono. Selain itu di Demak sedang terjadi perebutan, bahkan salah satu putra Syarif Hidayat wafat. Pada masa selanjutnya kedudukan Cirebon terdesak dan terlampaui oleh kejayaan Banten, sedangkan Cirebon berubah menjadi vasal Demak.
Perjanjian dengan Cirebon
Perang Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Banten dan Demak berlangsung 5 tahun, karena pasukan gabungan Cirebon tidak berani naik ke darat, sedangkan dipihak lain Pajajaran tidak memiliki armada laut yang kuat. Cirebon hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Pertempuran Pajajaran dengan Cirebon menurut Carita Parahyangan terjadi 15 kali, berlangsung dari tahun 1526 – 1531.
Di front timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pada tahun 1528 Cirebon pernah dipukul mundur oleh Galuh. Berkat kepemimpinan Pangeran Cakrabuana pada akhirnya pasukan Galuh berhasil dipukul mundur sampai ke Talaga. Didaerah ini pasukan Galuh menghimpun kekuatan.
Cirebon menghentikan sementara serangannya ke Talaga, karena pada tahun 1529 Cakrabuana (Walangsungsang) wafat. Pada tahun berikutnya serangan ke Talaga dilakukan, maka pada tahun 1530 Talaga dapat dikalahkan. Raja Talaga kemudian masuk islam dan Talaga menjadi bawahan Cirebon
Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Sementara pasukan Cirebon di bantu Demak memiliki pasukan meriam yang jauh lebih efektif dibandingkan pasukan panah Galuh.
Pada peristiwa ini Sumedang telah masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon, Hal ini terjadi pasca dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi, pendiri pesantren pertama di Cirebon. Pangeran Santri dari Sindangkasih dapat menjadi bupati Sumedang Larang karena pernikahan dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, bahkan acara syukuran penobatannya dilakukan di Cirebon.
Menurut versi lain, pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri). Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Rambutkasih) yang tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Namun masalah ini akan dibahas tersendiri.
Dengan posisi di timur Citarum yang telah dikuasai, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Pada tahun 1531 antara Pajajaran yang diprakarsai Prabu Surawisesa dengan Cirebon yang diprakarsai Syarif Hidayat dilakukan perdamaian, masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka ; sederajat ; dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga. Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian adalah Pangeran Pasarean, putera mahkota Cirebon ; Fadillah Khan ; dan Hasanudin, Bupati Banten.
Bagi Cirebon, penghentian peperangan tersebut dikarenakan pihaknya telah cukup puas dengan menguasai wilayah pesisir Sunda. Hal ini bertujuan untuk mengamankan jalur perdagangannya dan merebut kota pelabuhan. Sementara bagi Pajajaran berakibat kerugian besar, karena lebih dari separuh wilayah peninggalan Sri Baduga telah hilang. Dengan dukungan pasukan belamati yang setia, Surawisesa masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya di Pakuan.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, berkesempatan untuk membangun Sunda. Dalam suasana seperti itulah Surawisesa mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang Sri Baduga, ayahnya.
Pada tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia melakukan upacara Srada, yakni upacara untuk menyempurnakan sukma yang harus dilakukan 12 tahun setelah seorang raja wafat. Kemudian membuat Sakakala, tanda peringatan tentang Sri Baduga Maharaja dalam bentuk suatu prasasti, yang sekarang kita kenal dengan sebutan ‘Prasasti Batu Tulis.’
Dalam prasasti dicantumkan Maha Karya ayanya satu persatu, bahkan diakhir kalimat ‘ya siya pun.’ Hal ini untuk menunjukan bahwa benar Sri Baduga lah yang membuat tanda-tanda itu, yakni membuat parit pertahanan di Pakuan ; membuat tanda peringatan berupa gunung - gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida ; membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah yang membuat semua itu.
- ++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi Padatala ukiran jejak kaki. Menurut versi lain, pemasangan batu tulis tersebut bertepatan dengan upacara Srada, karena dengan dilaksankannya upacara demikian maka sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Ti dinya mulang ka pakwan deui.
Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya.
Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.