Manarah bergelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara yang ia dapatkan pada saat dilangsungkannya Musyawarah Galuh. Ia penguasa Galuh terhitung sejak tahun 739 – 783 M, untuk kemudian mengundurkan diri dan memilih jalan bertapa sampai ia meninggal dunia (manurajasunya).
Sejak masa Manarah berkuasa di Galuh tidak ada gejolak yang menggoyahkan tahta Galuh. Mungkin karena sebelumnya Banga berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, kemudian melepaskan dari Galuh dan menjadi negara merdeka.
Memang proses permintaan Banga untuk melepaskan Sunda dari Galuh hampir menimbulkan kemarahan Manarah. Namun berkat jasa perantara Demunawan, yang mengemukakan alasan perlunya ada kesedarajatan antar keturunan Wretikandayun maka Manarah mau melepaskan Sunda sebagai Negara yang merdeka.
Bagi para kritikus sejarah memang ada anggapan yang mustahil tentang eksitstensi Demunawan yang telah memiliki cerita sejak masa pemberontakan Purbasora. Namun dalam Naskah Wangsakerta diceritakan, Demunawan wafat pada umur 128 tahun. Lebih tua dari umur Sempakwaja, ayahnya yang wafat pada umur 109 tahun dan Wreitikandayun, kakeknya yang wafat pada usia 109 tahun.
Penerus Galuh
Manarah sebelum mengundurkan diri menyerahkan kekuasaanya kepada Manisri, suami Puspasari, salah seorang putri Manarah, disebabkan ia tidak memiliki putra laki-laki. Manisri berkuasa sejak tahun 783 sampai dengan 799 M, bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara.
Manarah didalam cerita Lisan dikenal sebagai tokoh Ciung Wanara, sedangkan Manisri dan Puspasari dikenal sebagai tokoh cerita Lutung Kasarung. Manisri dikenal dengan nama Guruminda, sedangkan Puspasari dikenal dengan sebutan Purbasari. Mungkin karena asal usul Guruminda tidak diketahui maka masyarakat tardisional dan para juru pantun menganggapnya sebagai Putra Sunan Ambu.
Sebagaimana dalam cerita lain, seperti cerita bawang merah dan bawang putih, atau cerita dari luar tentang Cinderela, status Purbasari dikonotasikan sebagai putri bungsu raja yang dianiayai kakak-kakak perempuannya. Disini pun ada semacam cerita yang menyangkut sentimen terhadap saudara tiri.
Misalnya Purbalarang sebagai kakak tiri ditempatkan sebagai si jahat yang mengucilkan Purbasari dari kehidupan istana. Hingga akhirnya datang Sang Lutung yang Kasarung menemukannya. Singkat cerita Purbasari mendapatkan takhtanya dan bersanding dengan lutung yang ternyata seorang kesatria (Guruminda).
Manisri kemudian digantikan oleh putranya, Sang Triwulan (799 – 806 M) digantikan lagi oleh Sang Welengan (806 – 813 M) dengan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Sepeninggalnya tahta Galuh diserahkan kepada Prabu Linggabumi (813 – 852 M).
Rupanya Manarah dan keturunannya sangat sulit memperoleh anak laki-laki, karena Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeyan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya.
Demikian pula sebaliknya, setelah Rakeyan Wuwus (Keturunan Banga) wafat pada tahun 891 M digantikan oleh Prabu Darmaraksa, adik Prabu Langlangbumi dari Galuh. Darmaraksa menikahi adik Raketan Wuwus, sebaliknya Rakeyan Wuwus menikahi kakak Darmaraksa.
Intrik keraton memang belum sedemikian reda, karena masih ada kerabat istnan Sunda yang tidak mau diperintah Urang Galuh. Pada tahun 895 M Peristiwa ini mengakibatkan di bunuhnya Darmaraksa oleh salah seorang Mantri.
Tahta Sunda – Galuh kemudian diserahkan kepada Windusakti atau Prabu Dewageung, putra Darmaraksa. Sejak saat itu kisah Galuh hampir kehilangan rekam jejak dan baru diberitakan kembali pada keturunan Sunda yang Ke – 20. Hal ini diungkapkan Pleyte (1915) dalam artikelnya tentang Sri Jaya Bupati, dalam buku “Maharaja Cri Jayabhupati Soenda’s Ouds Bekende Vorst”, yang mengulas mengenai prasasti Cibadak - Sukabumi.
Para akhli sejarah Sunda mensinyalir, hubungan dan perpaduan budaya Sunda - Galuh baru mencair pada abad ke 13, sebagaimana dengan penyebutan masyarakat Sunda untuk kedua penduduk ini. Kemudian pada abad 14 berita-berita luar sudah menggunakan istilah Sunda untuk masyarakat Sunda - Galuh. Perpaduan nama demikian terjadi secara alamiah, dimungkinkan akibat para tokoh dari daerah Sunda lebih terkenal di masa silam.
Demikian rundayan Carita Galuh masa silam. Jika memang ada salahnya, mudah-mudahan carita ini ada yang mau melakukan koreksi. Hana nguni hana mangke - Tan hana nguni tan hana mangke - Aya ma baheula hanteu teu ayeuna - Henteu ma baheula henteu teu ayeuna - Hana tunggak hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna. Cag Heula. (***)
Sumber bacaan :
1. rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984).
Cita-cita raja yang mulia adalah memerintah negara dengan adil dan
bijaksana sehingga dapat mencapai keadilan dan kemakmuran negara dam rakyatnya.
Sebelum pergi bertapa, harus dapat mempersiapkan generasi penggantinya dan
menyelesaikan semua permasalahan kenegaraan. Mungkin inilah yang diinginkan
Sena, ayah dari Sanjaya.
Sanjaya sebelum memenuhi panggilan Sena untuk menggantikannya sebagai
raja di Medang, berinisiatif untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh,
dihadiri oleh anggota kerabat kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling
berkuasa di Pulau Jawa, sebab Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya,
sedangkan Demunawan yang memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya.
Menurut Carita Parahyangan, keinginan Sanjaya tersebut untuk menjalin
silaturahmi, dia mengingkan dan ia pun berjanji untuk tidak lagi memerangi
saudaranya dari Galuh. Penulis Carita Parahyangan mengutip, sebagai berikut:
Carek Rahiang Sanjaya:
"Na naon nu jadi karempan teh ? Ayeuna aing hayang runtut raut. Aing jeung
bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Musyawarah Galuh
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan, bahwa hasil musyawarah Galuh
adalah ketetapan yang disampaikan oleh Sanjaya, termasuk batas wilayah yang
harus ditaati bersama. Kisah tersebut, sebagai berikut :
Dah Rahiyang Sanjaya:
"Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang
Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah :
"Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor
Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda."
Ujar Sanjaya : apa yang
menjadi kekhawatiran ? Aku sekarang ingin hidup bahagia, aku dengan orang
tuaku, Rahiangta Kuku, Sang Seuweukarma. Sekarang aku tidak akan lancang.
Sekarang kita tetapkan : tanah bagian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang
Isora di sebelah Timur ; jauhnya sampai sebelah Utara Progo dan Cilotiran, dari
sebelah barat Citarum, kearah barat bagian keluarga kerajaan Sunda”
Menurut para penulis RPMSJB musyawarah di Galuh terjadi pada tahun 731
M, dan menetapkan :
daerah sebelah barat Citarum
sampai keujung kulon menjadi hak waris keturunan Tarusbawa ; (2) daerah sebelah
timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua antara Tamperan yang menguasai
bagian selatan dan Demunawan yang menguasai bagian utara, termasuk bekas
Galunggung dan Saung Galah ; (3) bagian tengah akan tetap diperintah oleh
Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh – Kalingga ; (4) daerah sebelah
timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan keturunan dari
keluarga Kalingga. (Jilid 2, Bag. 4 hal. 72).
Semula Galuh diserahkan kepada Premana, namun Premana lebih memilih
untuk menjadi pertapa. Kemudian Premana terbunuh di pertapannya. Pemerintahan
di Galuh kemudian dijalankan oleh Tamperan.
Epos Ciung Wanara
Tamperan atau Barmawijaya didalam buku rintisan penelusuran masa silam
Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan menduduki takhta Galuh sejak tahun
732 – 739 dan berkdedudukan di Purasaba Sunda, menggantikan posisi Sanjaya.
Peristiwa ini terjadi setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram. Kemudian wilayah
Sunda dan Galuh dijadikan satu di bawah pemerintahan Tamperan.
Kisah pembunuhan Premana Dikusumah didalam versi lain terjadi akibat
persekongkolan yang dilakukan Tamperan. Hal ini sangat terkait dengan kisah
asmara anatara Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, istri Premana Dikusumah. Dari
hubungan ini melahirkan Banga.
Kisah Balangantrang dan Ciung Wanara diriwayatkan, setelah suruhan
Tamperan berhasil membunuh Permana Di Kusumah iapun membunuh suruhannya itu.
Premana Dikusumah didalam carita pantun disebut Ajar Sukaresi atau Bagawat
Sajalajala, sedangkan nama pertapaanya di mungkin terletak di Gunung Padang.
Berdasarkan Naskah Carita Parahyangan wilayah pertapaan itu terletak di ‘pamana
Sunda’ (perbatasan sunda).
Kisah pembunuhan Premana Dikusumah ditulis didalam Nusantara III/1 h. 70
:
Sang Prabhuresi Sajalajal
cakti, yatiku swami ning Dewi Pangrenyep i sedeng iratapa haneng tapowana i
bang wetan ing Tarumanadi ikang sapinasuk Ghaluh pradeca bang kulwan [Sang
Praburesi Sajala-jala Sakti yaitu suami Pangrenyep sedang bertapa di hutan
pertapaan sebelah Citarum yang termasuk Galuh bagian barat]. [RPMSJB, buku kedua,
hal.73].
Kisah ini diuraikan pula didalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Di wates Sunda, aya pandita
sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. / Atma pandita teh
nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna
Rahiang Banga. (Atja, 1968).
(Diperbatasan Sunda ada
pendeta Sakti, dibunuh tanpa dosa, namanya Bagawal Sajalajala / Roh pendeta itu
menitis, menjadi Sang Manarah. Anaknya Rahiang Tamperan berdua dan saudaranya
Rahiang Banga].
Dari carita Parahyangan memang ada perbedaan status Manarah dengan alur
yang dikisahkan versi RPMSJB. Manarah disebutkan putra dari Permana Dikusumah,
sedangkan Banga memang anak Tamperan.
Setelah terbunuhnya Premana Dikusumah, kemudian Tamperan menikahi
sekaligus kedua istri Premana, yakni Pangranyep dan Naganingrum.
Tamperan didalam memperlakukan Manarah, putra Premana dari Naganingrum
seperti anaknya sendiri. Peristiwa ini akhirnya banyak ditafsirkan, bahwa
Manarah dan Banga adalah kakak beradik dari satu ayah. Bahkan dalam cerita
rakyat nama ayah keduanya disebut-sebut Prabu Brama Wijayakusumah, hampir sama
dengan nama Tamperan Barmawijaya.
Skandal Tamperan sebelumnya menjadi rahasia yang sangat tertutup rapat
pada akhirnya tercium luas di lingkungan Galuh, terdengar pula oleh Bimaraksa,
di Geger Sunten, mantan mahapatih Galuh pada jaman Purbasora, pada waktu itu
sedang aktif menghimpun kekuatan dengan nama samaran Balangantrang.
Didalam mempersiapkan perlawanannya Balangantrang mendapat dukungan dari
raja-raja sekitar Galuh taklukan Sanjaya namun memihak Demunawan. Tugas ini
tidak begitu sulit dilakukan, karena ia dikenal sebagai senapati dan Patih
Galuh yang tangguh, serta masih terhitung cucu dari Wretikandayun. Kondisi yang
menunjang, disebabkan ada kesetiaan pengikut Sempakwaja, ayah dari Purbasora
yang teguh tidak mau diatur raja Sunda.
Kekuatan Sempakwaja semula hanya nampak dari Saunggalah, melebar kebatas
wilayah lainnya disekitar Galuh, untuk kemudian berubah wujud menjadi kerajaan
Galunggung dibawah pemimpin Demunawan, putra Sempakwaja. Konon pada masa itu
kerajaan Galunggung bersifat ‘kabataraan’ atau semacam kerajaan agama.
Untuk mematangkan soliditas perlawanan, Balangantrang merasa perlu
menarik Manarah kepihaknya. Memang agak sulit, karena Tamperan mengakui dan
memperlakukan Manarah sebagai anaknya sendiri, berakibat Manarah agak sulit
didekati. Bagi gerakan Balangantrang, Manarah adalah simbol perlawanan Galuh,
karena ia anak Permana Dikusumah yang dibunuh Tamperan. Pada akhirnya Manarah
dapat diyakinkan, hingga sering secara diam-diam menemui kakeknya di Geger
Sunten.
Penyerbuan Manarah dan pasukan Balangantrang untuk menguasai Galuh
diatur dengan seksama. Bagi mereka masalah penguasaan teritorial kota Galuh
tidak sulit dilakukan, mengingat kesehariannya Ia hidup dilingkungan Galuh.
Balangantrang merencanakan untuk melakukan penyerbuan pada siang hari, dengan
cara langsung menguasai istana, sedangkan Manarah melakukannya ditempat sabung
ayam, ia akan terlibat sebagai peserta sabung ayam.
Acara sabung ayam pada masa itu dianggap acara resmi dan diijinkan oleh
negara, biasanya pada acara itu di hadiri para pembesar istana, termasuk
Tamperan. Sehingga dengan taktik ini Balangantrang akan sangat mudah menguasai
istana. Namun dalam sejarah lisan, masyarakat Galuh lebih banyak menceritakan
kisah yang terjadi di tempat sabung ayam, ketimbang penguasaan keraton oleh
pasukan Balangantrang.
Upaya merebut tahta Galuh itu dilakukan pada tahun 723, dan berhasil
dengan gemilang. Jika Sanjaya dahulu merebut tahta Galuh dari Purbasora
dilakukan pada malam hari, sebaliknya Manarah dengan Balangantrang melakukannya
pada siang hari.
Persitiwa ini diceritakan didalam Carita Parahyangan, cuplikannya
sebagai berikut :
Sang manarah males pati. /
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, / ku Sang Manarah. / Dipanjara beusi
Rahiang Tamperan teh. / Rahiang Banga datang bari ceurik, / sarta mawa sangu
kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, / tuluy gelut jeung
Rahiang Banga. / Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah. / Ti dinya
Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa,/
mangrupa persembahan. Nurutkeun carita Jawa, / Rahiang Tamperan / lilana
ngadeg raja tujuh taun, / lantaran polahna resep / ngarusak nu tapa, / mana teu
lana nyekel kakawasaanana oge. / Sang Manarah, lilana jadi ratu
dalapanpuluh / taun, lantaran tabeatna hade.
Tamperan wafat pada tahun 739 M. Posisinya di Galuh digantikan Manarah,
sedangkan Banga, anak Tamperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu
Sunda sudah berada dibawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan
maksud dari buku sejarah Jawa Barat, kerajaan Sunda pernah berada dibawah
kontrol Galuh terhitung sejak adanya perjanjian Galuh, yakni tahun 739 M sampai
dengan 759 M.
Manarah – Surotama
Manarah menjadi penguasa Galuh sejak tahun 739 – 783 M, bergelar Prabu
Jayaperkosa Mandelaswara Salakabuana. Gelar ini diperoleh dalam Musayawarah di
Galuh. Sedangkan Banga menjadi raja dibawah kerajaan Galuh, sama dengan posisi
Premana terhadap Sanjaya.
Manarah menikah dengan Kencana Wangi. Dari pernikahannya memperoleh
putri, antara lain Puspasari. Tokon Puspasari diduga adalah Purbasari yang
dikisahkan dalam cerita Lutung Kasarung. Sedang tokoh Lutung Kasarung adalah
Manisri, suami Puspasari. Dalam kisah tersebut Manisri bernama Guru Minda.
Dikarenakan Manisri tidak diketahui muasalnya, maka ia di sebutkan sebagai
putra Sunan Ambu. Manisri kemudian mewarisi tahta manarah, dengan Gelar Prabu
Darmasakti Wirajayeswara, berkuasa pada tahun 783 – 199 M.
Pada masa Manarah banyak meninggalkan kisah dan legenda, seperti cerita
Ciung Wanara dan Ki Balangantrang. Cerita dan Kisah ini sering dijadikan sumber
rujukan oleh para petutur lisan, seperti untuk mengetahui batas etnis dan acuan
tentang budi pekerti.
Perjanjian Galuh
Sanjaya di Keraton Medang Bumi Mataram mendengar berita kematian
Tamperan, anaknya, iapun bergegas membawa pasukan besarnya menuju Galuh. Berita
ini diketahui oleh para telik sandi Galuh, kemudian melaporkan kepada Manarah.
Oleh karena itu Manarah mempersiapkan pasukan Galuh untuk menyambut
Sanjaya di luar kota Galuh.
Mereka pun saling berhadap-hadapan siap bitotama. Diduga, jika saja
pertempuran (Gotrayudha) sesama keturunan Wretikandayun itu terjadi,
diniscayakan seluruh keturunan Wretikandayun tak akan ada sisanya.
Dalam kepanikan itu muncul Resiguru Demunawan diiringi para resi lainnya
dari Saung Galah. Ia langsung menuju palagan Galuh, menghampir kedua belah
pihak. Resi Demuwan dengan wibawanya yang kuat ia menghentikan pertempuran itu.
Kemudian ia meyakinkan tentang akan hancurnya keturunan Wretikandayun jika
perang ini tidak dihentikan. Ia pun menjelaskan, bahwa :
Galuh dibangun para leluhur
untuk kesejahtraan anak cucunya, bukan untuk dihancurkan kembali, Alangkah
sakit hatinya roh leluhur jika menyaksikan pertumpahan darah ini. Hentikan
peperangan ini, mari kita berunding di Galuh, ditempat nenek moyangnya dahulu
melakukan perundingan.
Ajakan yang sangat menyejukan ini disambut gembira oleh para pihak yang
bersetru. Pada akhirnya mereka membuat perjanjian, intinya antara sebagaimana
yang ditulis dalam Nusantara III/1, dijelaskan, sebagai berikut :
Menyudahi permusuhan (mawusana panyatrawanan) diantara
yang sedang berperang
Mengadakan perjanjian persahabatan
(mitrasamaya), beker jasama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparo
pakara) diantara mereka
Tidak boleh mengadakan pembalasan (paribhaksa)
terhadap sesamanya karena mereka itu masih satu keturunan (tunggal kawitan)
Semua prajurit yang tertawan harus dibebaskan
Bila timbul perselisihan di antara mereka harus
diselesaikan diantara mereka harus diselesaikan (telas aken) dengan damai
(apakenak) dan bermusyawarah (mapulungrahi) dengan semangat persaudaraan
(kaharep paduluran)
Hubungan kekerabatan tidak boleh putus dan harus
saling mengasihi
Tidak boleh saling menyerang dan merebut kota-kota
(para pura) masing-masing
Menghormati hak ahli waris yang sah (maryada sakeng si
tutu), yaitu : (1) Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum kebarat dirajai
oleh sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna
Ajimulya ; (2) Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh
Sang Suratoma alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara
Salakabuan ; (3) Resi Guru Demunawan menguasai negeri Saung Galah dan bekas
kawasan Kerajaan Galunggung (4) Sanjaya memerintah di Jawa Tengah. (RPMSJB,
Jilid Kedua, hal. 79)
Untuk mengukuhkan persaudaraan
diatas kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya yakni Kencana Wangi dengan
Manarah, sedangkan Kencana Sari dinikahkan dengan Banga. Dari pernikahan ini
maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah. Dengan demikian maka
dikemudian hari keturunan Wretikandayun bersatu kembali. Kelak perbedaan
keturunan ini terhapuskan akibat perkawinan antara keturunan Manarah dan Banga.
Hal ini terjadi pada masa Rakean Wuwus.
Sunda Melepaskan Diri
Banga menggantikan Tamperan sebagai Raja Sunda keempat sejak tahun 739 M
sampai dengan 766 M. Namun ada juga pendapat bahwa Banga raja Kerajaan Sunda
yang ketiga karena Tamperan sebenarnya tidak pernah berdomisili di Sunda, ia
hanya menjabat sebagai Duta Patih Sunda di Galuh.
Akibat Perjajian Galuh terpaksa kedudukan Banga harus berada dibawah
Galuh. Perjanjian ini dirasakan Banga sangat merugikan posisinya. Posisi ini
kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora. Sanjaya
sebagai kakeknya Banga tentu merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang
dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut. Kemudian ia
secara diam-diam menganjurkan Banga untuk memperkuat kerajaan Sunda.
Banga melaksanakan ide kakeknya, setahap demi setahap ia menaklukan
kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, hingga iapun menjadi
raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan
Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Mahardika.
Tindakan Banga menyulut kemarahan Manarah. Sekali lagi Resi Demunawan,
Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian
membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah
bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dan Galuh sejajar, masing-masing berdiri
sebagai Negara yang merdeka.
Peristiwa ini menempatkan Resi Demunawan sebagai orang yang bijaksana
dan memiliki visi yang baik. Resi Demunawan pada Perjanjian Galuh menempatkan
Sunda di bawah Galuh. Hal tersebut merupakan upaya maksimal pada saat itu.
Setelah keadaan memungkinkan ia memenuhi janjinya untuk mensejajarkan Sunda
dengan Galuh sehingga dapat tercipta kerukunan yang abadi.
Bangga meninggal pada tahun 766 M, berumur masih relatif masih muda,
yakni 42 tahun. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, ia dilahirkan pada tahun
724 M, sehingga ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. (***)
Sumber bacaan :
·Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk,
Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat.
·Sejarah
Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung - 2005
Pisuna Galuh pada dasarnya dipicu oleh dua masalah. Pertama disebabkan Wretikandayun memilih Mandiminyak, putra bungsunya untuk meneruskan tahtanya. Hal ini disebabkan alasan, Sempakwaja dan Jantaka dianggap tidak layak memiliki cacat tubuh. Kedua adanya penolakan keluarga Galuh terhadap Sena, pengganti Mandiminyak, yang kelahirannya merupakan hasil smarakarya Mandiminyak dengan Rabbabu, istri Sempakwaja pada pesta bulan purnama di Keraton Galuh. Hal ini sekaligus menyebabkan dendam anak-anak Rabbabu dari Sempakwaja, yakni Purbasora dan Demunawan.
Perilaku sebagaimana yang dilakukan Mandiminyak dianggap menyimpang. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan didalam naskah Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyian. Naskah tersebut menetapkan adanya 3 katagori wanita (istri) yang dilarang untuk dinikahi, yakni (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196).
Jika dilihat dari sejarah keluarnya kedua naskah tersebut tentunya mengadopsi nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh. Hal ini dapat dipahami, mengingat Sang Manikmaya, leluhur raja-raja Galuh, dianggap sebagai cikal bakal yang mengajarkan tetekon hidup dan etika-etika yang menyangkut moral, sehingga jika masyarakat Galuh mewajibkan para penguasanya mentaati etika yang berlaku maka harus dianggap kewajaran, karena keberadaan Galuh tidak lepas dari masalah tersebut.
Sena sebenarnya sangat berlainan dengan Mandiminyak, ayahnya. Ia terkenal sebagai orang alim dan sangat dihormati para tokoh agama, namun hanya karena alasan diatas ia kurang mendapat sambutan dilingkungan keluarga Galuh, sehingga terjadi pemberontakan Purbasora.
Purbasora dalam melakukan pemberontakan tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan Bimaraksa, keduanya putra Jantaka. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan bhayangkara yang berasal dari kerajaan Indraprahasta. Bimaraksa ahli memainkan berbagai jenis senjata dan ahli strategi perang. Peranan yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.
Keberpihakan Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh.
Purbasora pada saat menggulingkan Sena mendapat dukungan dari pasukan Indraprahasta, kerajaan yang terletak di Cirebon Girang. Pasukan ini secara turun temurun menjadi bhayangkara pengawal raja-raja Tarumanagara. Hal ini dimulai sejak masa Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanagara ke-4. Mereka sangat mahir menggunakan senjata, telah teruji keberaniannya dan ulet serta setia kepada raja.
Kedekatan Purbasora terhadap Indraprahasta dikarenakan ada pertalian perkawinan. Purbasora menikahi Citra Kirana, putri sulung Padmahariwangsa, raja Indraprahasta. Dari perkawinan ini menglahirkan seorang putra yang bernama Wijayakusuma. Dikelak kemudian hari setelah berhasil merebut Galuh, Purbasora mengangkatnya sebagai putra mahkota Galuh.
Sena sebenarnya sudah mengetahui akan ada pemberontakan ini. Untuk melakukan antisipasi ia pun telah meminta bantuan Terusbawa, raja Sunda agar mengirimkan balabantuan. Sayanya balabantuan tersebut belum tiba ketika pemberontakan Purbasora terjadi, sehingga Sena terpaksa melarikan diri ke Merapi, untuk kemudian tiba di Kalingga Utara.
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan peristiwa ini, sebagai berikut :
·Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. / Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. / Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. / Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.
Gerakan politis lain yang digunakan Purbasora adalah menjaga hubungannya dengan Terusbawa, raja sunda, mertua dari anak Sena, yaitu Senjaya. Dalam kasus ini Purbasora menganggap tidak perlu berhadapan dengan raja sunda, karena ia hanya ingin menyingkirkan Sena, sehingga perlu membuka jalur diplomasi melalui Duta Sunda yang ada di Galuh.
Pasukan Sunda yang akan membantu Sena saat itu sedang menuju Purasaba Galuh, tidak mengetahui bahwa Sena telah digulingkan. Hal ini telah diketahui Purbasora. Ia memutuskan untuk bersama duta besar Sunda menyambut pasukan Sunda. Sekalipun demikian ia sudah mempersiapkan jika diplomasi ini menemui jalan buntu.
Purbasora menawarkan pasukan Sunda untuk tetap menjadi sahabat dan menjamu di Galuh. Pada akhirnya Duta Besar Sunda berhasil membujuk pasukan Sunda, dengan pertimbangan untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih besar, serta alasan keselamatan keluarga Duta Besar itu sendiri, pada saat itu menjadi sandera di keraton Galuh dengan alasan dianggap sebagai tamu kehormatan Galuh.
Purbasora meminta Duta Sunda untuk mengantarkan surat kepada Raja Sunda, isinya mengajak untuk bersahabat dan menganggap masalah Galuh adalah urusan intern keluarga yang harus diselesaikan oleh orang-orang Galuh. Terusbawa menerima ajakan tersebut, karena selain tidak mau memulai perseteruan baru, ia telah mengetahui bahwa Sena selamat. Disisi lain, ia pun sedang sibuk menghadapi bajak laut yang semakin merajalela. Konon kabar para bajak laut tersebut didalangi Sriwijaya.
Purbasora Pejah
Sanjaya, putra Sena dan keluarga Kalingga merasa sakit hati atas peristiwa penggulingan Sena di Galuh. Sanjaya yang sangat temperamental dikabarkan segera mempersiapkan pembalasan dan secara diam-diam menggalang diplomasi dengan kekuatan lainnya. Pada masa terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun.
Upaya untuk merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pertama-tama dengan cara menghimpun kekuatan dan membuka jalur diplomatik dengan pihak-pihak yang dianggap berpengaruh terhadap Galuh.
Secara diam-diam Sanjaya pergi ke Denuh menemui Resiguru Wanayasa (Jantaka) dan meminta agar Resiguru mau menjadi manggala dan bertindak sebagai pelaksana keadilan. Permintaan ini menjadikan Resiguru berada pada posisi yang sulit, karena putranya, yakni Bimaraksa (Balangantrang) ada di pihak Purbasora, dilain pihak ia mengetahui bahwa Sanjaya adalah pewaris yang syah dari Mandiminyak, sehingga ia memutuskan untuk bersikap netral dan memintakan agar keluarganya yang ada di galuh tidak diganggu. Resiguru menyarankan agar Sanjaya meminta bantuan raja Sunda. Sanjaya kemudian berjanji untuk mentaati saran itu, namun meminta syarat agar Resiguru mau bersikap netral.
Dialog pertemuan ini dikisahkan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
·Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."
·
·"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."
·
·Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda.
Sanjaya dari Denuh menuju Pakuan untuk menemui Terusbawa, dan meminta bantuannya. Terusbawa sebagai raja Sunda dihadapkan pada posisi yang serba sulit. Disatu sisi Sanjaya adalah anak Sena dan cucu Mandiminyak, sahabat dalitnya, namun disisi lain ia telah memiliki hubungan baik dengan Purbasora.
Jika dianalisa dari alasan yang menyangkut posisi Terusbawa tersebut sebenarnya kurang lengkap, mengingat ada peristiwa di Sunda yang harus diperhatikan, yakni munculnya gangguan dari para bajak laut yang disponsori Sriwijaya. Mungkin masalah inilah yang paling strategis untuk dijadikan alasan yang tepat. Karena pemberantasan bajak laut pada masa itu membutuhkan sumberdaya dan kekuatan yang tidak sedikit. Disisi lain pada masa itu Galuh telah memiliki pasukan bhayangkara yang tangguh. Jika pasukan Sunda dikirimkan ke Galuh untuk membantu Sanjaya maka kekuatan di Sundapura menjadi sangat terancam. Terusbawa akhirnya hanya menyarankan agar Sanjaya lebih berhati-hati dalam melakukan tindakannya.
Kemungkinan lainnya adalah, pada masa itu Sanjaya belum menikah dengan Tejakencana, cucu dari Terusbawa, sehingga ia belum menjadi Prabu Anom Sunda. Pernikahan tersebut terjadi pasca Sanjaya membantu Terusbawa memberantas bajak laut diperairan Sunda. Hal ini terjadi sebelum Sanjaya pergi ke Galuh.
Memang di dalam RPMSJB juga terdapat beberapa keterangan tentang masalah waktu Sanjaya pada saat memberantas para bajak laut yang ada diperairan Sunda. Disatu sisi buku RPMSJB menyebutkan adanya saran Terusbawa agar Sanjaya mempelajari buku bala sarewu, untuk kemudian dijadikan petunjuk pokok di dalam cara memberantas para bajak laut. Peristiwa pemberantasan bajak laut dianggap cara melatih dan mempersiapkan Sanjaya sebelum menyerang Galuh. Namun disisi lainnya Terusbawa menyarankan Sanjaya untuk mempelajari kitab bala sarewu sebagai buku pelajaran yang mengandung pelajaran strategi perang, untuk kemudian langsung menyerang Galuh, tanpa terlebih dahulu memberantas bajak laut.
Menurut salah satu versi, buku tersebut buah karya Resiguru Manikmaya, leluhur dari Sanjaya, sehingga sangat tepat jika Terusbawa menyarankan Sanjaya untuk mempelajari buku yang dibuat oleh leluhur Sanjaya, untuk kemudian dijadikan sebagai ajaran pokok di dalam cara memberantas bajak laut. Dari keberhasilan inilah maka Sanjaya dijodohkan dengan Teja Kencana, putri Mahkota Sunda atau cucu Terusbawa.
Tentang adanya buku ‘ratuning bala sarewu’ dituliskan di dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
·Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal. Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?" / "Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, 'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru." / Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. (Atja, 1968).
Pada masa selanjutnya diketahui, di tengah malam buta, ketika Galuh terlelap tidur, tiba tiba Sanjaya datang menyerang dan membumi hanguskan Galuh. Ditengah kobaran api, konon kabar Sanjaya sendiri yang menghadapi Purbasora, ketika itu Purbasora sudah berumur 80 tahun. Menurut naskah Nusantara III/1 diberitakan ditengah hingar bingar pertempuran terdengar teriakan : “Purbacura Pinejahan dening Sanjaya yudhakala” [Purbasora dibinisakan oleh Sanjaya waktu perang].
Didalam kemelut tersebut Sanjaya menepati janjinya. Ia tidak menghabisi keluarga lainnya, termasuk Bimaraksa, kecuali Purbasora. Selanjutnya Bimaraksa lari ke Geger Sunten, iapun membentuk kekuatan dengan cara mengumpulkan para partisan untuk merebut Galuh kembali. Dalam cerita Pantun ia kisahkan sebagai Aki Balangantrang, kakek dari Ciun Wanara.
Ketika Purbasora wafat, ia telah berumur 80 tahun. Purbasora memimpin Galuh sejak 716 sampai dengan 723 M. Dalam naskah carita parahyangan dikisahkan :
·Ti inya pulang ka Galuh Rakéyan Jambri. Tuluy diprang deung Rahiyang Purbasora. / Paéh Rahiyang Purbasora. / Lawasniya ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéyan Jambri, inya Rahiyang Sanjaya. [Atja, 1968].
Sumber bacaan :
·Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
·
·Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·
·Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Wretikandayun dikenal sebagai raja Galuh pertama bahkan dianggap pendiri Galuh pasca Kendan. Wretikandayun diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun 534 Saka atau 612 M, saat ia baru berumur 21 tahun.
Pada masa pengangkatannya Galuh masih berada dibawah kekuasaan Tarumanagara (masa Maharaja Kertawarman, Raja ke-8). Kemudian pada tahun 670 M, Wretikandayun berhasil membawa Galuh menjadi kerajaan yang berdaulat lepas dari kekuasaan Sunda (dhi. Ex Tarumanagara).
Wretikandayun tidak memilih pusat kegiatan pemerintahan di Kendan atau Medang Jati, sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, tetapi memilih suatu daerah baru yang subur, diapit dua hulu sungai, Citanduy dan Ciwulan. Saat ini dikenal dengan sebutan Karang Kamulyan, terletak di Cijeungjing Ciamis. Tempat tersebut kemudian ia namakan Galuh (Permata).
Pada masa Wretikandayun nyaris tidak ada petumpahan darah, baik didalam Galuh maupun dengan Negara lain. Hal ini disebabkan pengalamannya dalam memimpin Galuh yang sangat lama (612 – 702 M), iapun akhli melakukan diplomasi, bahkan ketika memerdekakan Galuh tidak setetes pun darah tertumpah.
Dimasa kepemimpinan Wretikandayun Galuh dapat memerdekakan diri dari Sunda. Ia sendiri mengabdi sejak jaman Kertawarman, raja ke-8 sampai dengan jaman Linggawarman, raja ke-12.
Dalam Carita Parahyangan dijelaskan Wretikandayun berjodoh dengan Pwah Bungatak Mangalele (Manawati) dengan gelar Candraresmi. Dari pernikahannya ia memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (620M), Jantaka (622M) dan Amara (624 M). Namun Sempakwaja dan Jantaka memiliki cacat tubuh. Oleh karena itu yang dianggap layak meneruskan kekuasaan Wretikandayun adalah Amara, dengan gelar Mandiminyak.
Sebenarnya jika sejarah tersebut digali lebih jauh lagi, ada perbedaan sifat dari putra-putra Wretikandayun. Sempakwaja dan Jantaka lebih tekun mempelajari masalah keagamaan, sedangkan Amara lebih senang berpesta dan berpesiar.
Untuk meredam masalah, Wretikandayun menempatkan Sempakwaja sebagai resiguru di Galunggung, kemudian bergelar Danghiyang Guru. Galunggung dalam kisah lainnya disebutkan sebagai nagara ‘Kabataraan” atau negara yang berlandaskan agama. ia menjadi pengimbang penting dari kerajaan Galuh.
Sempakwaja dari perkawinannya dengan Rababu melahirkan Purbasora dan Demunawan. Sedangkan Jantaka dijadikan resiguru di Denuh, dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Denuh ada di Galuh Selatan. Ia memiliki putra yang bernama Bimaraksa, senapati Galuh dikenal dengan nama Ki Balangantrang.
Wretikandayun memiliki umur panjang, ia wafat pada tahun 702 M dalam usia 111 tahun. Ia memeritah Galuh sejak usia 21 tahun menggantika ayahnya Sang Kandiawan.
Bapak Kemerdekaan Galuh
Sebagaimana diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, nama kerajaan pengganti Tarumanagara.
Kondisi Tarumanagara sejak masa Maharaja Sudawarman, raja Tarumanagara ke-9 memang sudah mengalami krisis kewibawaan dimata raja-raja daerah. Dimungkinkan tidak terjaga hubungan baik dan kurangnya pengawasan terhadap negara-negara bawahan yang telah diberikan otonomi oleh raja-raja terdahulu, atau tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil tinggal dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa.
Kalaupun Sudawarman mampu menyelesaiakan tugas pemerintahannya, semata-mata karena kesetiaan pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir: bagaimana menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik. Sayangnya pada masa Sanjaya, kerajaan Indraprahasta di hancur leburkan, karena daja Indraprahasta mendukung Purbasora, karena memang Purbasora adalah menantu raja Indraprahasta.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat, merupakan daerah bawahan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai mencapai masa keemasan. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika para pengganti Sudawarman mampu mengelola hubungan dengan raja-raja bawahan maupun raja-raja diluar Tarumanagara. Demikian pula pada masa pemerintahan Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi.
Setelah Linggawarman wafat pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sunda sembawa. Ia memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M), sebelum menjadi penguasa Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura, raja daerah dibawah Tarumanagara.
Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia memindahkan mengubah nama Tarumanagara menjadi Sunda (Sundapura atau Sundasembawa). Namun kondisinya sangat berbeda dengan Purnawarman, selain Purnawarman menguasai strategi peperangan dan pemerintahan, dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power.
Penggantian nama kerajaan tersebut tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda mengakibatkan raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, padahal pamor Tarumanagara saat itu sudah jauh menurun, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura, sesama bawahan Tarumanagara.
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena memiliki hubungan sangat baik dengan Kalingga, melalui perkawinan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak tunduk kepada Sunda dan tidak lagi mengakui raja Sunda sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Sunda jangan menyerang Galuh, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Sunda, dan memilki senjata yang lengkap.
Berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, namun ia menganggap sulit memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Memang ultimatum Wretikandayun bukan suatu ancaman kosong, meningat ia sudah memiliki hubungan diplomatik yang cukup kuat dengan Kalingga, ia pun mengawinkan Mandiminyak, putra bungsunya dengan Parwati, putri Kartikeyasinga denga Ratu Sima, penguasa Kalingga. Demikiam pula Kalingga memiliki kepentingan terhadap Galuh guna menghadapi ekspansi Sriwijaya (lihat kerajaan Sunda).
Pada kisah berikutnya, : Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Ia merelakan kerajaan terpecah menjadi dua. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negara. Konon kabar Citarum akan selalu dijadikan batas wilayah antara Sunda dan Galuh, sebagaimana pada jaman Manarah.
Pada tahun 670 M, kisah Tarumanaga berakhir sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Bagian Barat. Kemudian muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dimasa berikutnya disebut juga Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh.(***)
Sumber bacaan :
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.