Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984), uraian tentang kerajaan sunda nam paknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Ci traganda. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan ke rajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan secara ter sendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran. Namun masyarakat tradisional tak pernah mau tahu dengan adanya pembatasan periode, bahkan terhadap katagorisasi sejarah secara akademis sekalipun. Masyarakat tradisional berangga pan bahwa seluruhnya adalah kerajaan Sunda dan memiliki entitas yang sama.
Pembahasan kesejarahan Sunda saat ini sudah jauh lebih luas dibandingkan sebelumnya yang hanya mengambil Sunda dari simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda ter-akhir. Jika Kerajaan Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal adalah Prabu Siliwangi maka Ki Sunda berpotensi makin kehilangan jejak dan akar sejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigma untuk melemparkan pengetahuan sejarahnya lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwangi ?, bahkan harus lebih jauh lagi ke jaman sebelum Tarusbawa memindahkan pusat Tarumanaga ra kedaerah Sundapura atau Sunda sembawa ?.
Para Perintis Kerajaan Sunda
Terusbawa dikenal sebagai pendiri kerajaan Sunda setelah Tarumanagara, bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Terusbawa adalah raja Daerah Sundapura, pada masa itu berada dibawah kekuasaan Tarumanagara. Memperoleh tahta Tarumanagara setelah menikah dengan Dewi Manasih, putri Linggawarman. Raja Tarumanagara terakhir. Sehingga kerajaan Sunda dianggap kelanjutan dari Tarumanagara.
Jika diteliti lebih lanjut tentang sebutan raja Daerah Sunda, serta dikaitkan dengan prasasti Juru Pangambat yang ditemukan disekitar daerah prasasti Ciaruteun, yang menyatakan tentang pemulihan kekuasaan Sunda, dimungkin istilah Sunda sebagai bentuk kerajaan sudah ada ketika masa Tarumanagara berdiri, bahkan disebut-sebut bahwa Purnawarman dimasa keemasannya mengendalikan pemerintahan Tarumanagara dari daerah (kota) Sunda. Sunda atau Suddha, Sindhu secara etimologis sudah dikenal sejak 4.000 SM. Menurut para filolog mengenal adanya proto melayu yang dianggap lebih tua di Asia, namun proto Soendic (Sunda) jauh lebih tua ribuan tahun dari proto melayu (Bern Nothover, 1973). Mungkin pula alur ini berhubungan dengan penemuan istilah Sunda sebagai akronim dari Prabu Shindu, yang ajarannya merebak hingga ke Jepang (Shinto) dan Mahenjodaro (India), kemudi an disebutkan sebagai ajaran Hindu. Konon kabar artefak ajaran ini masih dapat ditemukan di Bali dan penganut Sunda Wiwitan. Para penganut ajaran ini pun meyakini, bahwa ajaran ini asli berasal dari Bumi Nusantara, bukan dari luar.
Demikian pula masalah cikal awal kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan, masih panjang sirsilah keatasnya, yang konon belum terpecahkan. Tentang para perintis kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan diuraikan oleh Undang A. Darsa dan Edi. S. Ekadjati didalam menjelaskan : Garis besar Isi Fragmen Carita Parah yangan (Buku Tulak Bala : 2003). Para perintis dimaksud, se bagai berikut :
- Bagawat Angga Sunyia yang berkedudukan sebagai Batara Windupepet.
- Bagawat Angga Mrewasa yang berkedudukan sebagai Prebu Hujung Galuh.
- Bagawat Angga Brama berkedudukan di Pucung, namun dibunuh oleh Sang Pandawa.
Kisah ini diuraikan, sebagai berikut :
- "Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Sunyia dyi adegkeun Batara Windupepet; windu ngabener pet nga pegat pegatkeun. Ulah teresna, ulah dekkabawa ku rupa warna, ulah kabawa ku sakaton sakareungeu. Haywa mido, mi telu, adana siya rabi siya tunggal. Lamunfa dek mido, mitelu, maka nguni carut di carrek kaliyuga. Pamalina tan yogya sengguhheun tunggal. - Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Mre wasa diadegkeun Prebu Hujung Galuh, siya jagat palaka. Ulah siya pakadang-kadangan, nyandung sapilanyceukan, ngala rabi sama rabi, ngala hulanyjar ka huma ti urang kaluaran, munuh tanpa dosa, midukaan tanpa dosa. Anaking, eta pamali prela ya na bwana pamalina. Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Ku Maharaja Trarusbawa, Bagawat Angga Brama di adegkeun [Maharaja Trarusbawa] (Bagawat) Suci Mayajati. - Sumaur Bagawat Suci Mayajati, "Pun, kami dipipejah bwana ku Sang Pandawa." Memeh munggah maring sorga dingaran an deui ku Maharaja Trarusbawa, dingaran na buyut lingga. Leupas ti inya sangkanna menta pulang ka Pucung. Sadatang ka unggal tahun, Maharaja Trarusbawa kena na panyji na lemah. Anggeus ta indit Sang Hyang Rancamaya, dipindahkeun Sang Hyang Nagasusupan di Sang Ratu Mambang, Sang Ratu Kalasakti."
Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan pula, bahwa Tarusbawa adalah pengganti Bagawat Angga Brama, yang di bunuh oleh Sang Pandawa (Kuningan). Kelak Sang Pandawa pun mampu mengalahkan Sanjaya, dan mengejarnya hingga ke daerah Galuh. Jika dilihat periode masa Klasik di tatar Pasundan, adanya pengaruh politik dan kerajaan, disinyalir dimulai pada masa berdirinya Tarumanagara, maka pada masa Tarusbawa, Pakuan mengendalikan para penguasa daerah lainnya. Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa Maharaja Tarusbawa mengeluarkan pangwereg 'ketentuan berupa hak' bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan. Istilah Pamwatan diterjemaahkan sebagai kewajiban memper sembahkan upeti' sebagai tanda setia.
Adapun para penguasa daerah yang disebutkan didalam naskah, adalah : "Sang Resi Putih dinobatkan sebagai Batara Danghyang Guru di Galunggung yang berpusat di Sukasangtub. Bagawat Sangkan Windu di Denuh yang berpusat di Jambudipa. Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai Batara Waluyut di Mandala Cidatar yang berpusat di Medang Kamulan. Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai Batara di Geger Gandung yang berpusat di Bantar Bojong Cisalak. Bagawat Resi Karangan dinobatkan sebagai Preburaja di Kandangwesi yang berpusat di Papandayan. Bagawat Cinta Premana dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di Puntang yang berpusat di Gunung Sri. Bagawat Tiga Warna dinobatkan di Mandala Puncung yang berpusat di Lamabung. Bagawat Pitu Rasa dinobatkan sebagai Batara Sugihwarna di Mandala Utama Jangkar yang berpusat di Gunung Tiga".
Para penguasa dan wilayahnya diatas menunjukan daerah kekuasaan Terusbawa, bahkan di dalam pembahasan lainnya disebutkan mengenai batas-batas wilayah dimaksud, sebagai berikut : "Batas wilayah Galunggung: sebelah timur lereng Pelangdatar, sebelahutara lereng Sawal, dan sebelah barat tepi sungai Cihulan. Batas wilayah Denuh : - sebelah barat tepi Cipahengan hingga hulu Cisogong tapal batas Puntang, sebelah timur hulu Cipalu, dan sebelah utara hulu Cilamaya.Batas wilayah Geger Gadung: - sebelah barat tepi Cilangla yang, sebelah utara lereng Parakukan membentang ke Geger Handiwung serta Pasir Taritih terus ke muara Cipager Jampang hingga hulu Cilangla. Batas wilayah Kandangwesi : - sebelah barat tepi Cikandang wesi, sebelah utara lereng tapal batas Lewa. Batas wilayah Puntang: Sebelah barat lereng Pakujang sampai Gunung Mandalawangi, sebelah utara lereng Kalahedong hingga Gunung Haruman, dan sebelah timur tepi Ciharus. Batas wilayah Windupepet hanya disebut sebelah barat tepi Cikaradukun. Batas wilayah Lewa : - sebelah barat tepi Cimangkeh, dan sebelah utara lereng tapal batas Kandangwesi.
Selain
wilayah tersebut, dijelaskan adanya daerah dibawah kekuasaan Terusbawa, yakni
wilayah Windupepet, berpusat di Gunung Manik dan wilayah Lewa, di Pacera. Asli
naskah di maksud berisi sebagai berikut : "Alasna Galunggung ti timur
hanggat Pelangdatar, ti kaler hanggat Sawal, ti barat hanggat
Cihulan. -Alasna Gegergadung ti barat hanggat Cilanglayang, ti kaler
hanggat Parakukan, unggahna Geger Handiwung, Pasir Taritih, muhara Cipager Jampang
diterus hulu Cilangla. -Alasna ti barat Cipatujah di muhara Cipalatih, ti barat
hanggat gunung Kendeng. -Alasna Denuh ti barat hanggat Cipahengan, ti hulu
Cisogong alasna Puntang, ti timur hulu Cipalu, ti kaler hanggat hulu Cilamaya,
ti barat hanggat Abwana.-Alasna Windupepet di barat hanggat Cikaradukun. Alasna
Pun tang ti barat hanggat Pakujang gunung Mandalawangi, ti kaler hanggat
Kalahedong gunung Haruman, ti timur hanggat Ciharus. -Alasna Lewa ti barat
hanggat Cimangkeh, ti kaler hanggat Wates. -Alasna Kandangwesi ti barat
hanggat Cikandangwesi, ti kaler hanggat Wates. -Keh anggeus pahi kaduuman
alas, diduuman ku Maharaja Tarrusbawa. Ja ini pawidyana alas, pawidyana desa:
Sumur hulu alas Galuh. Heuleutna ti kaler hanggat Sukasangtub hulu alas Galunggung.
Medang Kamulan hulu alas Cidatar. Bantar Bojong Cisalaka hulu alas Gegergadung.
Gunung Tiga hulu alas Utama Jangkar. Jambudipa hulu alas Denuh. Lama bung hulu
alas Pucung. Gunung Manik hulu alas Windupepet. Gunung Sri hulu alas
Puntang.-Pacera hulu alas Lewa. Papandayan hulu alas Kandangwesi.
Fragmen Carita Parahyangan
menyebutkan bahwa Maharaja Trarusbawa berkuasa lama sekali di keraton Sri-Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, namun hal yang agak me ragukan mengenai
waktu memerintahnya, yakni 1100 tahun. Hal yang sama dengan penyusunan sejarah
selanjutnya ten tang penggantinya. Tarusbawa disebutkan digantikan oleh
Maharaja Harisdarma (Sanjaya), tapi kemudian takhta kerajaan di warisi
para penggantinya secara berebutan. Mungkin istilah secara berebutan di terjemaahkan dari kalimat ‘turuna
pa tiwah-tiwah’, sehingga nampak terus adanya perebutan kekuasaan, mulai
dari Rahyang Tamperan lalu kepada Rahyang Banga, Rahyang Wuwus, Prebu
Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panyjang, Sang Winduraja,
dan berakhir kepada Rakeyan Darmasiksa.
Nama Kerajaan
Kota
Sundapura, tempat asal Terusbawa pernah diguna kan sebagai ibukota Tarumanagara
pada masa Purnawarman. Dimungkinkan ia adalah keturunan dari Purnawarman.
Alasan Terusbawa memindahkan ibukota kembali ke Sundapura pa da tahun pada
tahun 591 saka Sunda, karena Terusbawa me mimpikan untuk mengembalikan masa
kejayaan Tarumanaga ra ketika beribukota di Sundapura.
Didalam
penulisan sejarah, sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda dimulai
sejak Terusbawa memindah kan ibukota Kerajaan Tarumanagara. Istilah Sunda di
dalam prasasti sudah disebutkan sebelum digunakan oleh Terusba wa, seperti
dalam prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka, menyebutkan tentang
dipulihkannya kekua saan raja Sunda. maka wajar jika ditafsirkan bahwa kerajaan
Sunda sudah ada dan digunakan sebelum tahun tersebut, ka rena prasasti dimaksud
tentu tidak dibuat langsung atau ber tepatan dengan didirikannya kerajaan
Sunda, prasasti tersebut tidak menandakan dimulainnya kerajaan Sunda, namun
hanya menerangkan, bahwa telah ada penguasa Sunda yang kekuasaannya dipulihkan.
Data prasasti ini disinyalir memiliki kaitan yang jelas dengan kisah Fragmen
Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa masih ada para perintis kerajaan
Sunda yang berkedudukan di Pakuan sebelum masa pemerin tahan Terusbawa.
Menurut
Sutaarga (1966), penamaan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran menunjukan pada kota
atau pusat pemerintahan, sedangkan kerajaannya masih tetap bernama Sunda.
Penggunaan nama Pajajaran atau Pakuan Pajajaran sama dengan Keraton Yogya yang
menggunakan nama kota atau pusat pemerintahan (kerajaan), bukan mutlak
menunjukan nama kerajaannya.
Istilah
Sunda untuk nama suatu daerah pernah diguna kan Purnawarman sebagai pusat
pemerintahan. Kota Sunda pada masa itu adalah salah satu kota yang terletak di
wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura Purnawarman memerintah dan mengendalikan
Tarumanagara, dan di Sundapura Taruma nagara mencapai masa keemasannya.
Tarumanagara berahir setelah wafat Linggawarman, dan digantikan oleh Terusbawa,
menantunya, menikah dengan putri Linggawarman, Dewi Manasih. Terusbawa
dinobatkan dengan nama Maharaja Terusbawa Darmawaskita Manunggalajaya
Sundasembawa. Dari sini para penulis sejarah mencatat dimulainya kerajaan
Sunda.
Tentang
letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kampung Muara dan Prasasti
Kebantenan menimbulkan per tanyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan
ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Prasasti
tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584, masa Tarumanagara,
namun menurut para akhli lainnya dibuat tahun 854, menunjukan pada masa
Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan
Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara sehingga dimungkin prasasti
tersebut peninggalan masa Tarumanagara.
Didalam
Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, : telas karuhun
wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring
usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prastawa saking
Brata-nagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan
Tarumanagara. Pada masa lalu diberi nama Sunda-pura. Nama ini berasal dari
negeri Bharata).
Tentang
perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan didalam Fragment Carita
Parahyangan, sebagai berikut : Dina urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah
ngaran Kada twan Bima–Punta–Narayana–Madura–Suradipati. Anggeus ta tuluy
diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas
keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan
Bima-Punta–Narayana– Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati
oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).
Berita
lainnya tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya
: Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadatwan Sang
Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun
yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang
Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa)
Istana sebagai
pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan
Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana
yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi ber diri
masing-masing, dengan namanya sendiri, secara berurut an disebut
Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Bangunan Keraton
tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal
23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada
penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat
Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Banten dan Ci rebon.
Istilah
ini ditemukan pula didalam Laporan Scipio (Belanda), sebagai berikut : Dat
hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning
Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart
wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang
ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, sekarang ini masih
dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).