Senin, 29 Maret 2010

Wedana Bupati

Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.

Dugaan pemberian tahta kepada Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsJB).

Menurut babad, Harisbaya tergila-gila oleh Geusan Ulun. Demikianlah waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam tajug keraton untuk mengajak Geusa Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan harus dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.

Pangeran Aria Suriadiwangsa
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga Suriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.

Hardjasaputra, didalam bukunya tentang : Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Namun rpmsJB menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Suriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”

Dalam pembahasan rpmsJB sebelumnya menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Suryadiwangsa adalah putra dari Geusan Ulun.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama Pengeran Arya Suriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).

Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.

Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Suriadiwangsa.

Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai Nusantara.

Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saa diistrenan Geusan Ulun menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah Sumedang diserahkan kepada Mataram (1620 M).

Banyak kisah yang menjelaskan tentang alasan Pangeran Aria Suriadiwangsa menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Suriadiwangsa, sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan Ulun.

Hardjasaputra (hal.21) menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601/pen).

Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Suradiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.

Hal tersebut berlainan dengan pendapat para penulis rpmsJB yang meyakini Pangeran Arya Suriadiwangsa adalah asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpmsJB ini berakibat pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.

Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran Suriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.

Penyerahan Sumedang kepada Mataram tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.

Tentang status penguasa Sumedang pasca penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “ untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).


Bahan Bacaan :

  • Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.

  • Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk, 1983 – 1984.

  • Sumedang Larang - wikipedia, 17 Maret 2010.

  • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.

  • Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.

  •  


  •   


Jumat, 26 Maret 2010

Kasus Harisbaya

Kisah Sumedang pada masa Geusan Ulun banyak dipengaruhi oleh akibat Peristiwa Harisbaya, seperti lepasnya daerah Sindangkasih (asal Pangeran Santri) menjadi wilayah Cirebon ; munculnya mitos-mitos yang berhubungan dengan Jayaperkosa (hanjuang, dago jawa, sindang jawa, penggunaan batik) ; dan berpindahnya ibukota Sumedang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah ini menjadi mitos yang kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di tatar Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang.

Pasca wafatnya Geusan Ulun sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah tatar Sunda, sulit menarik benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya. Dalam buku History of Java misalnya, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada masa itu di tatar Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda, bahkan berada di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles menyimpulkan pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung dibagian barat”.

Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca kemerdekaan pun demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang berasal dari sejarah lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa peristiwanya, sehingga tak jarang dituduh memiliki catatan sejarah palsu, atau tuduhan “sejarahnya diciptakan oleh Belanda”.

Jika ditelusuri lebh lanjut, konon masalah ini dahulu hanya karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada juga yang menyebutkan putra tirinya), dari Harisbaya menyerahkan Sumedang tanpa syarat kepada Mataram. Penyerahan ini bukan hanya berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga seluruh tatar Parahyangan. Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap dan di amanahkan sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang menguasai sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan (selebihnya dikuasai Banten dan Cirebon), tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada dibawah daulat Sumedang.

Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diceritakan melalui beberapa versi, diantaranya babad Sumedang, babad Cirebon dan babad Limbangan. Namun masing-masing versi memiliki alasan, adakalanya muncul perbedaan didalam menuturkan peristiwanya. Namun tentunya, kita pun tidak perlu mengadili kebenaran masing-masing yang dikisahkannya, karena masing-masing memiliki paradima yang berasal dari keyakinan kebenaran yang dikisahkannya. Dan memiliki alasan sesuai dengan jamannya.


Makam Geusa Ulun
 
Kasus Harisbaya
Kisah Harisbaya dan akibat dari peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssJB), secara garis besar dituturkan sebagai berikut :
  • Didalam Pustaka Kertabumi I/2 dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau 1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang menewaskan Prawoto (Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara Demak Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa dimaksud atau pada 1558 M.
Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan jati (ayahnya) merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya (Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya (selama 16 tahun), untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.

Pada tahun 1582 M hubungan antara Cirebon dengan Pajang menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, bupati Mataram (islam). Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Banowo menjadi bupati Jipang.

Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Harisbaya terjadi (1585 M) yang berkuasa adalah Arya Pangiri (Pajang), sedangkan Panembahan Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada tahun 1586 M setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.

Panembahan Ratu pada waktu itu telah menjadi menantu Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.

Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun, namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan Geusan.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru hara (1546 M) Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan islam. Keberadaan Geusan Ulung di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi I/2, waktu itu Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di Pajang dalam waktu yang cukup lama (menurut babad antara 5 sampai 5 tahun), tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang (tahun 1580 M) untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.

Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama halnya dengan Panembahan Ratu, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan Ulun (keturunan Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati) memiliki mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.

Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita manapun kompromi ini memang ada disebutkan.

Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 M. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.

Menurut Babad
Didalam rpmssJB dijelaskan, bahwa : Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah Madura. Harisbaya sangat tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia merayu Geusan Ulun untuk melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang didukung empat senapatinya yang tangguh kemudian mengabulkan permintaan tersebut. Kemudian ditengah malam buta ia meloloskan diri dari Cirebon.

Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian memerintahkan prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun pasukan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya dengan selamat. Konon kabar, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago Jawa” dan “Sindang Jawa”.

Kisah lolosnya Harisbaya membuat kegelisahan Cirebon. Panembahan Ratu mengutus para telik sandi mencari keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari dua orang mata-mata Cirebon memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di pasar. Informasi ini disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini, Cirebon menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang dipimpin Jayaperkosa.

Dalam kisah babad, peperangan ini pula muncul mitos tentang Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar, sebelum berangkat menyambut musuh yang akan menyerang Sumedang, Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang itu masih segar, maka ia masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu artinya ia telah gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia tersesat. Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera menuju ke Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke Dayeuh Luhur. Kemudian evakuasi pun terjadi.

Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa terkejut ketika mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang yang ditanam Jayaperkosa masih segar. Ia pun sangat merah ketika mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya telah pindah ke Dayeuh Luhur dan menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di kalahkan Cirebon. Ia mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal kepindahannya ke Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian membunuh Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga”. Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan agar dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah Kabuyutan. Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, “Jayaperkosa tidak mau kuburannya menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun”. Sekalipun yang terakhir ini masih perlu ditelaah lebih jauh, karena Jayaperkosa lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.

 
Lingga Jayaperkosa
 
Kemarahan Jayaperkosa
Didalam Babad Limbangan maupun Babad Sumedang peranan Jayaperkosa dimasa Geusa Ulum dicertikan panjang lebar. Menurut rpmssJB, dipaparkan : kedua babad itu seolah-olah menenggelamkan peran Geusan Ulun di Sumedang dan menjadikan babad tersebut sebagai riwayat hidup Jayaperkosa. Padahal Jayaperkosa dan adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa biasa, sehingga Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang tertinggi namun berada dibawah raja.

Buku tersebut selanjutnya menjelaskan pula, : seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu memang ada, satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah kesediaan Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu melalui pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa yang ingin menebus kekalahan Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa Jayaperkosa, Cirebon dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang terjadi permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun melainkan bertujuan membuka kembali “Perang Pakuan”. Dan memang pada waktu Sumedang sudah kuat.

Disisi lain Panembahan Ratu dianggap tokoh penting dalam penaklukan Pajajaran. Jayaperkosa juga beranggapan, bahwa Panembahan ratu akan merasa terhina jika istrinya dibawa orang lain dan kemudian ia menyerang Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun tidak menerima tawaran tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil. Namun nampaknya Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih memilih mendapat kompensasi daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki Harisbaya, atau semacam memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada masalah harga diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan Jayaperkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M. Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga yang ada di dataran tinggi Dayeuh Luhur, saat ini masih nampak menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda, tempat Urang Sunda dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.

Terakhir
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam babad dan kisah lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat tergantung keyakinannya ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai generasi sesudahnya, kita tidak dapat begitu saja mengadili kebenaran dari masing-masing versi, atau menyalahkan paradigma para penulis dimasa lalu dengan paradigma kebenaran barat yang kadung menyeruak menjadi kebenaran kita saat ini.

Penafsiran kisah dan sejarah tersebut tentunya tidak lebih rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita pantun yang telah ada sebelum masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak instan sebagai mana mencerna cerita komik atau sejarah lain, ia lebh rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai. Padahal dari cerita pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda “baheula”. Mungkin ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan kesejarahan babad melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.

Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang hidup dan pilihan hidup. Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan dipertaruhkan hanya karena urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang akan datang menjadi tergadaikan. Disisi lain menggambarkan, bagaimana cita-cita dan harapan dipertahankan dan dijalankan, bagaimana pula pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga diri dan cita-citanya. Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat dan memiliki harga diri.

Hatur punten anu kasuhun, bilih aya cariosan nu teu parok jeung nyatana. (*)


Bahan Bacaan :
  • Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
  • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang - sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
  • Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
  • Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
  • Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.





.

Rabu, 24 Maret 2010

Pewaris Pajajaran


Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M.

Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.

Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda.

Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.

Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :


  • “Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).

Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).

Simbol raja Pajajaran.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.


Mahkota Raja Pajajaran


Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana.

Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :

  • • "Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka

  • • Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja

  • • Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima

  • • Punta Narayana Madura Suradipati,

  • • inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata

(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.

Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.

Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.

Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).

Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari Kandage Lante.

Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.

Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.

Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :

  • “Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).

Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.

Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara - saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.

Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.

Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”. 


Bahan Bacaan :



  • Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).

  • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010

  • Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.

  • Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.

  • Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.














    .

    Selasa, 23 Maret 2010

    Masa Islam

     
    Penyebaran islam di Sumedang
    Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya, atau kira kira tahun 1529 M agama islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran).

    Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan Sunan Corenda, raja daerah Talaga, putra dari pasangan Ratu Simbar Kancana dan Kusumalaya (putra Dewa Niskala). Dari pernikahannya ini melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih.

    Pada saat di nobatkan sebagai penguasa Sumedang, Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) dan Putri Sindangkasih (Majalengka).

    Pernikahan
    Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng Japura.

    Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri).

    Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.

    Berdasarkan dari rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena sering kali kasaweur dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.

    Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari Ki Gedeng Sindangkasih.

    Kedua menurut riwayat Majalengka, Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya. karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah) menjadi penguasa di Sindangkasih.

    Dari kisah tersebut memang ada sedikit ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih, melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap kekuasaan yang syah di Sindangkasih.

    Dari peristiwa itu rpmssjb menarik kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri, dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.

    Pangeran Santri
    Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.

    Peristiwa diatas memiliki kemiripan dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.

    Menurut rpmssjb, Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.

    Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan “syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih merupakan “satelit’ Cirebon”.

    Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi ‘tajug’ keraton Kutamaya.

    Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum, maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran Santri dan Pucuk Umum, yakni (1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) ; (2) Kiyai Rangga Haji ; (3) Kiyai Demang Watang di Walakung ; (4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; (5) Santowaan Cikeruh ; (6) Santowaan Awiluar.

    Pada masa pemerintahan Pangeran Santri memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala pemerintahan, karena usi lanjut.

    Patut diperhitungkan, ketika Pangeran Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang, apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang, atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.

    Dalam hal ini ada dua versi. Pertama menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri. Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik 13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.

    Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji 1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

    Menurut rpmsjb, sebagai pengganti penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun.

     
    Bahan Bacaan :

    • Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).


    • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www. sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.


    • Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.


    • Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.


    • Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.



    Senin, 22 Maret 2010

    Masa Pra Islam


    Praburesi Guru Aji Putih
    Seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Daerah tersebut telah ada sejak abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih ini.

    Berdasarkan versi rakyat Prabu Guru Aji Putih adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh). Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

    Sama dengan kisah Sang Maharesi Rajadirajaguru dari Tarumanagara yang disusun didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, lambat laun daerah tersebut menjadi daerah yang ramai. Sekalipun dengan struktur pemerintahan yang sederhana, untuk kemudian berdirilah Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.

    Prabu Guru Aji Putih disebut-sebut mulai eksis di daerah tersebut pada pertengahan abad kesembilan masehi. Namun jarak ini terlalu jauh jika dihubungkan dengan masa pemerintahan Sang Tajimalela versi buku rintisan penelusuran sejarah Jawa Barat. Mungkin juga tahun yang dimaksudkan adalah tahun Saka. Menurut buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsjb), sama halnya dengan yang dimuat dalam koropak 410, Sang Tajimalela sejaman dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) yang berkuasa di Sunda Kawali, ia pun sejaman pula dengan Suradewata, Ayahanda Batara Gunung Bitung Majalengka. Mungkin alasan ini pula buku tersebut tidak menghubungkan eksistensi Prabu Guru Aji Putih dengan Tajimalela.

    Praburesi Tajimalela
    Konon kabar Praburesi Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Ia pun sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).

    Prabu Resi Tajimalela dianggap sebagai tokoh berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung, ada juga yang menyebutkan Himbar Buana, dengan ibukota di Leuwihideung - Darmaraja. Konon kabar, istilah Sumedang berasal dari kata “Insun medal – insun madang”.

    Sang Tajimalela mempunyai tiga putra, yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Menurut Layang (buku rsmsj menyebutnya naskah) Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya, yakni Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja dan yang lain menjadi patihnya. Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja.

    Sang Tajimalela memerintahkan kedua putranya untuk pergi ke Gunung Nurmala. Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Kisah selanjutnya diceritakan, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang, tetapi wilayah dan ibu kotanya harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji tetap di Leuwi-hideung, menjadi raja sementara. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi.

    Penerus Taji Malela
    Prabu Gajah Agung dikenal pula dengan sebutan Atmabrata. Setelah menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Kemudian setelah wafat Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja.

    Kisah Prabu Gajah Agung ketika mendapatkan tahtanya, sebagai mana didalam versi naskah Darmaraja, menurut buku rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, mirip dengan kisah awal kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi. Untuk kemudian dari keturunan Ki Ageng Pamanahan ketiban pulung menjadi raja-raja di Mataram Islam.

    Prabu Gajah Agung digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wirajaya, dikenal pula dengan nama Sunan Pagulingan, ia menjalankan pemerintahannya dari Cipameungpeuk.

    Perpindahan ibu kota kerajaan ini bukan yang pertama kalinya, sejak masa Prabu Guru Aji Putih dan para penggantinya telah terjadi beberapa perpindahan ibu kota. Sama dengan ciri dari kerajaan lain di tatar Sunda, yakni Tarumanagara dan Sunda. Jadi wajar jika peninggalan raja-raja di tatar Sunda sulit ditemukan. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang permanen.

    Sunan Pagulingan mempunyai dua orang anak, pertama Ratu Istri Rajamantri yang menikah dengan Sri Baduga Maharaja dan pindah mengikutinya ke Pakuan Pajajaran. Kedua, bernama Mertalaya yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Karena ia berkedudukan di Ciguling maka ia pun diberi gelar Sunan Guling.

    Tentang pernikahan Rajamantri dengan Sri Baduga tentunya membuahkan beberapa cerita rakyat, dikelak kemudian hari banyak yang menafsirkan bahwa penguasa Sumedang Larang adalah keturunan dari Sri Baduga Maharaja (Silihwangi).

    Pasca meninggalnya Sunan Guling tahta Sumedang kelima dilanjutkan oleh putra tunggalnya, yaitu Tritakusuma atau Sunan Patuakan. Kemudian ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya, dikenal pula dengan sebutan Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia menikah dengan Sunan Corenda, raja Talaga, putra dari Ratu Simbar Kencana dengan Kusumalaya putra Dewa Niskala. Sintawati menjadi cucu menantu penguasa Galuh.

    Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri, yakni Mayangsari, putri Langlang Buana (Kuningan), sedangkan dari Sintawati (Sumedang) memperoleh putri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung, ia berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Telaga) putera Munding Surya Ageung, putra Sri Baduga. Sunan Gangsa kemudian ditaklukan Cirebon pada tahun 1530 M dan masuk islam. Putranya Sunan Wanaperih, menggantikannya sebagai bupati Talaga kedua bawahan Cirebon.

    Sunan Corenda dari Sintawati mempunyai puteri bernama Setyasih, kemudian setelah menjadi penguasa Sumedang ia diberi gelar Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya (1529 M) islam sudah mulai berkembang di Sumedang, disebarkan oleh Maulana Muhamad alias Palakaran.

    Masuknya pengaruh islam
    Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya sangat alim. Sejak itulah mulai penyebaran agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
     

    Bahan Bacaan :
     
    • Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
    •  
    • Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www. sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
    •  
    • Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
    •  
    • Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
    •  
    • Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
    •  

    Cikal Bakal Sumedang

    Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh).

    Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

    Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

    Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya : (1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ; (2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”. (http://www.sumedang. go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010).

    Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.” (Sumedang Larang, wikipedia, 17 Maret 2010).

    Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).

    Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan : Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.

    Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.

    Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.

    Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).

    Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.

    Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar). Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.

    Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 1300 an (koropak 410), sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya disebut-sebut pada tahun 1500 an.

    Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama dengan Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh, yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh islam didalam pemerintahannya. Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.

    Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.

    Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela. Hatur punten bilih lepat jujutanana.


    Bahan Bacaan :

    Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).

    Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.

    Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.

    Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.

    Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.


    Jumat, 19 Maret 2010

    Sultan Abdul Kadir (1596-1651)

    Surat Pangeran Muhammad kepada Raja Inggris



    Ketika Pangeran Muhammad wafat putranya, yakni Sultan Abdukadir Mufakhir Mahmud Abdul Kadir baru berusia lima bulan. Hal ini sama dengan peristiwa yang dialami ayahnya ketika ditinggalkan Panembahan Yusuf. Untuk menjalankan roda pemerintahan Banten maka pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Jayanegara.

    Banyak peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan Abdul Kadir, terutama ketika Belanda untuk kali pertama menginjakan kakinya di Banten, terutama pengaruhnya terhadap status kehidupan perekonomian Banten.

    Pada tahun tahun 1602 dengan di bentuknya suatau persatuan dagang belanda atau Vereesnigde Oost Indische Compagnie (VOC), atau dikenal dengan istilah Kompeni, mereka mendirikan kantor perwakilannya di Banten. Kumpeni Belanda sangat berlainan dengan strateginya yang terdahulu, yang memberikan keleluasaan bagi pertumbuhan perdagangan, namun Kompeni lebih banyak menjalankan kekuasaan dagangnya dengan cara menggunakan strategi politik yang berupaya menguasai wilayah secaa politis.

    Kekuasaan Mangkubumi
    Sekalipun perdagangan berkembang pesat dan Inggris membuka perwakilan daganya namun pasca wafatnya Mangkubumi Jayanegara dikeraton Banten terjadi peristiwa sebaliknya, terjadi perpecahan diantara para pangeran serta para pembesar negara, serta kurang arifnya para Mangkubumi pengganti Mangkubumi Jayanegara dalam menjalankan tugasnya. Hal ini berlangsung hingga Mangkubumi Ranamanggala yang diangkat sebagai wali sultan, mengingat Sultan masih terlalu muda untuk menjalankan tugasnya.

    Untuk mengembalikan kondisi negara Mangkubumi Ranamanggala menindak tegas para pangeran dan bangsawan yang melanggar hukum. Kemudian ia pun merubah struktur perdagangan lada yang telah ditetapkan oleh penguasa (Mangkubumi) sebelumnya, para pengganti Mangkubumi Jayanegara yang semula hanya boleh dijual oleh orang Cina kepada Belanda. Peraturan tersebut membolehkan setiap penjualan lada dibeli dan dijual kepada siapa saja, tidak ada monopoli.

    Monopoli yang dilakukan pedagang Cina dan Belanda sangat merugikan perekomonian Banten. Peristiwa ini menggambarkan, bahwa memang telah terjadi semacam kerjasama antara Kapitalisme (Cina dan Belanda) dengan para Mangkubumi yang bertindak sebagai penguasa Banten. Serta hanya menguntungkan para personel penguasa dan pedagang tersebut.

    Dengan dicabutnya sistim monopoli ini maka Banten dapat memperbaiki perekonomiannya kembali, namun berbeda halnya dengan pihak Belanda yang merasa dirugikan dengan pencabutan monopoli ini. Tak heran jika banyak para pedagang Belanda maupun pihak-pihak lainnya yang terkait dengan masalah ini mengangap Mangkubumi Ranamanggala sebagai pihak yang lalim. Selain itu, sikap ketegasan Mangkubumi Ranamanggala sering membuahkan perselisihan dengan pihak Belanda dan Pangeran Jayakarta.

    Penyerahan Tahta
    Pada tahun 1624 Sultan Abdul Kadir telah dianggap dewasa dan ia diserahi takhta Banten. Dengan demikian Banten dipimpin oleh seorang keturunan yang syah, sesuai dengan garis kesultananannya.

    Pada masa awal banyak tugas yang harus diselesaikan oleh Sultan Abdul Kadir, terutama akibat dari keputusan-keputusan yang diambil oleh para Mangkubumi sebelumnya. Pada masa itu hubungan Banten dengan Belanda sudah sangat memburuk dan terjadi beberapa pertempuran di wilayah Banten, seperti di Tanahara, Anyer dan Lampung. Kondisi yang diuntungkan Banten karena secara bersamaan Belanda sedang menghadapi beberapa pertempuran dengan Mataram dan Makasar. Untuk kemudian Belanda mengajukan genjatan senjata.

    Masalah lain yang dihadapi Sultan Abdul Kadir adalah dalam menghadapi serangan Cirebon. Untuk menghadapinya Sultan menyiapkan berpuluh-puluh armada perang. Ia pun menyediakan hadiah sebesar 2.000 real bagi siapa saja yang berjasa membantu Banten. Pada kahirnya Banten memenangkan pertempuran ini, untuk kemudian dikenal dengan peristiwa Pagerage.

    Sultan Abdul Kadir dikenal pula dengan kesalehannya. Ia memiliki lima orang anak. Sultan sangat mendalami ilmu agama dan sekaligus mengajarkan tentang agama kepada istri-istri dan anak-anaknya. Sultan Abdul Kadir dikenal pula sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap rakyatnya. Seringkali pada setiap malam ia mengendap-ngendap keluar istana dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Ia pun acapkali memberikan bantuan kepada rakyatnya yang miskin. Peristiwa ini mengingat pada cerita tentang Sultan Harun Al Rasyid didalam Hikayar Seribu Satu Malam.

    Sultan Abdul Kadir Wafat pada tahun 1651 dan dimakamkan di Kenari. Sedangkan tahtanya diserahkan kepada cucunya yang bergelar Pangeran Adipati Anom.


    Bahan Bacaan :

    Kapitalisme Pribumi Awal – Bab II, Gambaran Masyarakat di Kesultanan Banten, Heriyanti Ongkodharma Untoro, FIB UI – Cetakan Pertama - 2007

    Pesan :

    Untuk Perbaikan Blog ini mohon dapat meninggalkan pesan disini. Terima Kasih